PENDAHULUAN
Latar Belakang
Agar manusia dapat melangsungkan
kehidupannya maka harus memenuhi kebutuhan akan makanan (pangan). Kebutuhan
akan makanan itu sendiri merupakan sesuatu yang fitri (alamiah) adanya, yakni
tidak perlu diajarkan. Bayi yang baru dilahirkan secara otomatis membutuhkan
makanan (air susu). Demikian halnya dengan organisma atau makhluk hidup
lainnya. Cara memenuhi kebutuhan akan makanan tersebut mengalami perkembangan
sesuai dengan perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia itu sendiri.
Sebagai contoh adalah pada zaman dahulu, manusia membutuhkan makanan (pangan)
dengan cara berburu, kemudian melakukan budidaya dengan menggunakan teknologi
dari yang paling primitif (batu) sampai moderen seperti sekarang ini.
Penemuan dan
penggunaan teknologi yang cukup sepektakuler pada masa lalu adalah adanya
teknologi api. Api digunakan untuk membakar bahan makanan dan menjadi lebih
empuk, enak, dan harum daripada tidak dibakar. Dari teknologi api ini pula
berkembang teknologi-teknologi lain yang mengiringinya. Api tidak lagi hanya
untuk membakar, tetapi untuk merebus yang tentu saja memerlukan alat perebusan.
Dari api pula ditemukan teknologi pengawetan bahan makanan dengan cara
pengasapan yang kelak di kemudian hari menjadi begitu penting peranannya dalam
teknologi pengawetan bahan pangan. Penggunaan teknologi api jugalah yang
membedakan manusia dengan jenis makhluk hidup lainnya secara nyata.
Teknologi hasil
ternak lebih menekankan pada aspek kesegaran, penampakan, stabilitas,
penghindaran dari kontaminasi, pencegahan kebusukan, dan pengembangan produk
baru dari komponen-komponen hasil ternak. Berkaitan dengan hal tersebut juga
penting bagaimana cara mempertahankan serta meningkatkan cita rasa dan mutu
gizi melalui berbagai cara proses dan pengolahan. Teknologi tersebut diterapkan
pada empat komoditas hasil ternak yaitu Daging, Kulit, Telur dan Susu.
Telur adalah salah satu
bahan makanan
hewani yang dikonsumsi selain daging, ikan dan susu. Umumnya telur
yang dikonsumsi berasal dari jenis-jenis burung, seperti ayam, bebek, dan angsa, akan tetapi
telur-telur yang lebih kecil seperti telur ikan kadang juga digunakan sebagai campuran dalam
hidangan (kaviar). Selain itu dikonsumsi pula juga telur yang
berukuran besar seperti telur burung unta (Kasuari) ataupun sedang, misalnya telur penyu. Sebagian besar
produk telur ayam ditujukan untuk dikonsumsi orang tidak disterilkan, mengingat
ayam
petelur yang menghasilkannya tidak didampingi oleh ayam
pejantan. Telur yang disterilkan dapat pula dipesan dan dimakan sebagaimana
telur-telur yang tidak disterilkan, dengan sedikit perbedaan kandungan nutrisi.
Telur yang disterilkan tidak akan mengandung embrio yang telah
berkembang, sebagaimana lemari
pendingin mencegah pertumbuhan sel-sel dalam telur.
Telur
adalah sesuatu yang dihasilkan oleh induk hewan untuk melanjutkankelangsungan hidup populasinya, jika dibuahi
pejantan sebgai media dan bekaluntuk membesarkan calon anak dan jika dapat
dikonsumsi oleh manusia.
Telur
merupakan bahan pangan yang padat gizi dan enak rasanya, mudahdiolah serta
harganya relatif murah jika dibandingkan dengan sumber proteinhewani lainnya.
Bagi anak-anak, remaja, maupun dewasa, telor merupakan makanan ideal dan sangat
mudah didapatkan. Telor memiliki komposisi
zat giziyang lengkap,
yang terkandung dalam putihnya telor maupun kuningnya telor.
Telur dan Komposisi Telur Telur ayam ras potensial untuk mempertahankan
kehidupan embrio ayam karena mengandung nutrien yang cukup bagi pertumbuhan dan
perkembangan sebelum penetasan. Struktur kerabang yang kompleks merupakan ciri
yang khas mendukung perkembangan embrio. Kerabang berpori-pori untuk keperluan
respirasi embrio dan mengurangi kelembaban.
Secara alamiah
telur mempunyai daya simpan yang relative lama (2-3 minggu), selain karena
struktur fisik, telur juga mempunyai pengawet alami yang cukup potensial untuk
melindungi dari kerusakan microbial. Pengawet alami yang ada pada bagian
internal telur terutama bagian putih telur (albumen) mempunyai kemampuan sebagai
inhibitor (penghambat) bagi pertumbuhan mikroorganisme, sehingga telur tidak
cepat mengalami kerusakan/penurunan kualitas.
Ada dua cara
dalam pengawetan telur, yaitu pengawetan alami pada telur dan pengawetan dengan
penggaraman ( pembuatan telur asin dengan media cair dan pembuatan telur asin
dengan pembalutan ).
Telur dapat diawetkan dengan cara
penggaraman. Pengawetan dengan penggaraman terdiri dari penggaraman kering dan
penggaraman basah. Pengawetan dengan penggaraman kering yaitu cara mengawetkan
telur untuk diasinkan dengan melakukan pembalutan pada telur tersebut. Telur
dibalut dengan serbuk batu bata, abu gosok dan garam halus yang dicampur
sedangkan pengawetan dengan penggaraman basah yaitu mengasinkan telur dengan
cara merendam telur dalam larutan garam yang ditambah air kapur, Kedua cara penggaraman ini jelas berbeda
kualitasnya.
Curing merupakan suatu sistem
pengawetan hasil
ternak yang mengandalkan kekuatan garam sebagai pengawet dengan bantuan kontrol
mikroba atau fermentasi secara selektif. Kontrol mikroba dapat dilakukan antara
lain dengan penambahan bahan kimia seperti nitrat, asam, dan sebagainya.
Sedangkan fermentasi adalah fermentasi asam laktat.
Pengasinan
(curing) daging merupakan salah satu cara pengawetan daging dengan melakukan
pemberian bahan-bahan preservatif seperti garam (NaCl), Na-nitrat, Na-nitrit,
dan bahan lain yang dapat menambah cita rasa. Curing memiliki tiga tujuan
utama, yaitu pengawetan (preservation), rasa (flavor) dan warna (color). Curing
daging membutuhkan garam yang merupakan bahan pengawet pangan pertama digunakan
manusia. Garam telah menjadi bahan penting dalam pengawetan produk-produk
peternakan dan perikanan. Pada tingkat tertentu, garam mencegah pertumbuhan
beberapa tipe bakteri yang bertanggung jawab dalam pembusukan daging. Garam
dapat mencegah pertumbuhan bakteri, baik yang disebabkan oleh efek penghambat
langsung dari bakteri maupun oleh efek pengeringan yang dimiliki bakteri dalam
daging.
Nitrit dan
nitrat merupakan bahan tambahan yang dapat memperbaiki warna dan rasa daging
pada proses curing. Selain itu, nitrit pun dapat mencegah pertumbuhan
clostridium botulinum yang bersifat racun bila dikonsumsi manusia sehingga
menyebabkan botulisme. Nitrit dapat berubah menjadi nitrit oksida yang akan
bergabung dengan myoglobin (Mb). Myoglobin merupakan pigmen yang menentukan
warna merah alami pada daging yang tidak diasin. Setelah itu nitrit oksida dan
myoglobin berubah menjadi nitrit oksida myoglobin (NOMb). Nitrit yang digunakan
dalam pengasinan daging ini telah diproduksi secara komersial dengan nama
sodium nitrite.
Proses
curing membutuhkan garam dalam konsentrasi tertentu untuk menghambat
pertumbuhan mikroorganisme. Jumlah garam yang ditambahkan dalam daging sangat
bergantung pada kondisi lingkungan seperti temperatur dan tingkat keasaman
(pH). Kondisi tersebut akan mempengaruhi keefektifan fungsi garam sehingga
tidak ada batasan pasti yang menentukan konsentrasi garam dalam proses curing.
Prosedur yang digunakan dalam proses curing daging terdiri dari 1) Metode
pengasinan kering, dilakukan proses yang bersifat tradisional karena merupakan
metode pengasinan yang telah berusia tua. 2) Metode pengasinan basah lazim
dinamakan dengan pengasinan tangki. Metode ini memiliki kemudahan dalam
pengawasan dan mempunyai risiko kerusakan yang lebih kecil. Angka kehilangan
berat akan lebih sedikit dalam pengasinan basah ini.
Daging
yang telah diasinkan kemudian dapat disimpan selama beberapa hari dalam suhu
rendah untuk memberi waktu kepada bahan pengasin agar terdistribusi sempurna.
Bahan-bahan pengasinan dapat dimasukkan ke dalam daging dengan tiga alternatif
lain, yaitu dengan suntikan jarum, suntikan arteri, dan pompa setik. Di
negara-negara maju, proses pengasinan sangat mudah dilakukan oleh siapa saja
karena semua bahan, alat dan tempat untuk proses pengasinan tersebut dapat
diperoleh dalam satu produk yang terjual secara komersial.
Istilah curing digunakan jika sistem
tersebut diterapkan terhadap daging dan sejenisnya, sedangkan istilah pikel
digunakan jika sistem pengawetan diatas diterapkan terhadap buah-buahan dan
sayur-sayuran.
Pengawetan dengan fermentasi digunakan untuk pengawetan susu segar yang
ditambah dengan bakteri starter Lactobacillus casei atau digantikan
dengan yakult.
Fermentasi
bukan hanya berfungsi sebagai pengawet sumber makanan, tetapi juga berkhasiat
bagi kesehatan. Salah satumya fermentasi dengan menggunakan bakteri laktat pada
bahan pangan akan menyebabkan nilai pH pangan turun di bawah 5.0 sehingga dapat
menghambat pertumbuhan bakteri fekal yaitu sejenis bakteri yang jika dikonsumsi
akan menyebabkanakan muntah-muntah, diare, atau muntaber. Bakteri laktat (lactobacillus)
merupakan kelompok mikroba dengan habitat dan lingkungan hidup sangat luas,
baik di perairan (air tawar ataupun laut), tanah, lumpur, maupun batuan.
tercatat delapan jenis bakteri laktat, antara lain Lacobacillus acidophilus, L
fermentum, L brevis,dll. Asam
laktat yang dihasilkan bakteri dengan nilai pH (keasaman) 3,4-4 cukup untuk
menghambat sejumlah bakteri perusak dan pembusuk bahan makanan dan minuman.
Namun, selama proses fermentasi sejumlah vitamin juga di hasilnhkan khususnya
B-12. Bakteri laktat juga menghasilkan lactobacillin (laktobasilin), yaitu
sejenis antibiotika serta senyawa lain yang berkemampuan menontaktifkan reaksi
kimia yang dihasilkan oleh bakteri fekal di dalam tubuh manusia dan bahkan
mematikannya , Senyawa lain dari bakteri laktat adalah NI (not yet identified
atau belum diketahui). NI bekerja menghambat enzim 3-hidroksi 3-metil glutaril
reduktase yang akan mengubah NADH menjadi asam nevalonat dan NAD. Dengan
demikian, rangkaian senyawa lain yang akan membentuk kolesterol dan kanker akan
terhambat.
Di
beberapa kawasan Indonesia, tanpa disadari makanan hasil fermentasi laktat
telah lama menjadi bagian di dalam menu makanan sehari-hari. Yang paling
terkenal tentu saja adalah asinan sayuran dan buah-buahan. Bahkan selama
pembuatan kecap, tauco, serta terasi, bakteri laktat banyak dilibatkan. Bekasam
atau bekacem dari Sumatera bagian Selatan, yaitu ikan awetan dengan cara
fermentasi bakteri laktat, bukan saja merupakan makanan tradisional yang
digemari, tetapi juga menjadi contoh pengawetan secara biologis yang luas
penggunaannya.
Pengemasan
merupakan bagian dari suatu pengolahan makanan yang berfungsi untuk pengawetan
makanan, mencegah kerusakan mekanis, perubahan kadar air. Teknologi pengemasan
perkembangan sangat pesat khususnya pengemas plstik yang dengan drastic
mendesak peranan kayu, karton, gelas dan metal sebagai bahan pembungkus primer. Berbagai jenis bahan pengepak
seperti tetaprak, tetabrik, tetraking merupakan jenis teknologi baru bagi
berbagai jus serta produk cair yang dapat dikemas dalam keadaan qaseptiis
steril. Sterilisasi bahan kemasan biasanya dilakukan dengan pemberian cairan
atau uap hydrogen peroksida dan sinar UV atau radiasi gama.
Pengemasan
yang dilakukan pada bahan atau produk telah diakui dapat memperpanjang umur
simpan dan mempertahankan kualitas bahan atau pangan tersebut dalam jangka
waktu tertantu. Secara umum kemampuan daya simpan dan kerusakan produk yang
dikemas tergantung pada dua hal, yaitu sifat alamiah produk dan kondisi
lingkungan.
Jenis
generasi baru bahan makanan pengemas ialah lembaran plstik berpori yang disebut
Sspore 2226, sejenis platik yang memilki lubang - lubang . Plastik ini sangat
penting penngunaanya bila dibandingkan dengan plastic yang lama yang harus
dibuat lubang dahulu. Jenis plastic tersebut dapat menggeser pengguanaan daun
pisang dan kulit ketupat dalam proses pembuatan ketupat dan sejenisnya.
Namun,
karena dalam pengalengan makanan digunakan sterilisasi komersial (bukan
sterilisasi mutlak), mungkin saja masih terdapat spora atau mikroba lain
(terutama yang bersifat tahan terhadap panas) yang dapat merusak isi apabila
kondisinya memungkinkan. Itulah sebabnya makanan dalam kaleng harus disimpan
pada kondisi yang sesuai, segera setelah proses pengalengan selesai. Pengalengan didefinisikan sebagai
suatu cara pengawetan bahan pangan yang dipak secara hermetis (kedap terhadap
udara, air, mikroba, dan benda asing lainnya) dalam suatu wadah, yang kemudian
disterilkan secara komersial untuk membunuh semua mikroba patogen (penyebab
penyakit) dan pembusuk. Pengalengan secara hermetis memungkinkan makanan dapat
terhindar dan kebusukan, perubahan kadar air, kerusakan akibat oksidasi, atau
perubahan cita rasa.
Upaya
yang dapat di lakukan untuk memperpanjang masa simpan dan mempertahankan
kualitas bahan pangan dapat di lakukan dengan penyimpanan pada suhu rendah,
pembekuan cepat di lakukan dalam waktu kurang dari 30 menit dan suhu mencapai
-240C – (-400) yang akan terbentuk kristal, sedangkan
pada pembekuan lambat akan terbentuk kristal es besar dan kasar.
Dripp
merupakan banyaknya air yang keluar dari daging selama penyimpanan dan tidak
dapat di ikat/di serap kembali oleh sel-sel jaringan. Semakin besar kristal es
yang terbentuk maka semakin banyak air yang tidak mampu di ikat kembali sel jaringan, dripp banyak mengandung zat
makanan terutama zat yang larut dalam air seperti isoleusin, leusin, lysin,
methionin, triptophan dan vitamin seperti niasin, riboflavin, thiamin,
primidin, asam pantotenat dan asam folat.
Air merupakan komponen penting yang
ada didalam bahan pangan, karena air yang ada dalam bahan pangan akan
mempengaruhi penampilan atau cita rasa bahan itu sendiri.
Maka keberadaan air dalam bahan pangan ikut menentukan terhadap kualitas dan
daya tahan bahan pangan. Air dapat menjadi kurang atau tidak dapat digunakan
denan mengambilnya secara langsung (seperti halnya dalam dehidrasi dan
dehidrasi beku), atau dengan meningkatkan tekanan osmose ekstraseluler (seperti
dalam prosessing).
Pendiginan
adalah penyimpanan bahan pangan di atas suhu pembekuan bahan yaitu -2 sampai
+10 0 C. Cara pengawetan dengan suhu rendah lainya yaitu pembekuan.
Pembekuan adalah penyimpanan bahan pangan dalam keadaan beku yaitu pada suhu 12
sampai -24 0 C. Pembekuan cepat (quick freezing) di lakukan pada
suhu -24 sampai -40 0 C. Pendinginan biasanya dapat mengawetkan
bahan pangan selama beberapa hari atau minggu tergantung pada macam bahan
panganya, sedangkan pembekuan dapat mengawetkan bahan pangan untuk beberapa
bulan atau kadang beberapa tahun. Perbedaan lain antara pendinginan dan
pembekuan adalah dalam hal pengaruhnya terhadap keaktifan mikroorganisme di
dalam bahan pangan. Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan pangan tidak dapat
membunuh bakteri, sehingga jika bahan pangan beku misalnya di keluarkan dari
penyimpanan dan di biarkan mencair kembali (thawing), pertumbuhan bakteri
pembusuk kemudian berjalan cepat kembali. Pendinginan dan pembekuan
masing-masing juga berbeda pengaruhnya terhadap rasa, tekstur, nilai gizi, dan
sifat-sifat lainya. Beberapa bahan pangan menjadi rusak pada suhu penyimpangan
yang terlalu rendah.
Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan
atau mengilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian
besar air yang di kandung melalui penggunaan energi panas. Biasanya, kandungan
air bahan tersebut di kurangi sampai batas sehingga mikroorganisme tidak dapat
tumbuh lagi di dalamya.
Keuntungan
pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dan volume bahan menjadi lebih
kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengangkutan dan pengepakan,
berat bahan juga menjadi berkurang sehingga memudahkan transpor, dengan
demikian di harapkan biaya produksi menjadi lebih murah. Kecuali itu, banyak
bahan-bahan yang hanya dapat di pakai apabila telah di keringkan, misalnya
tembakau, kopi, the, dan biji-bijian. Di samping keuntungan-keuntunganya,
pengeringan juga mempunyai beberapa kerugian yaitu karena sifat asal bahan yang
di keringkan dapat berubah, misalnya bentuknya, misalnya bentuknya, sifat-sifat
fisik dan kimianya, penurunan mutu dan sebagainya.
Kerugian
yang lainya juga disebabkan beberapa bahan kering perlu pekerjaan tambahan
sebelum di pakai, misalnya harus di basahkan kembali (rehidratasi) sebelum di
gunakan. Agar pengeringan dapat berlangsung, harus di berikan energi panas pada
bahan yang di keringkan, dan di perlukan aliran udara untuk mengalirkan uap air
yang terbentuk keluar dari daerah pengeringan. Penyedotan uap air ini daoat
juga di lakukan secara vakum. Pengeringan dapat berlangsung dengan baik jika
pemanasan terjadi pada setiap tempat dari bahan tersebut, dan uap air yang di
ambil berasal dari semua permukaan bahan tersebut. Factor-faktor yang
mempengaruhi pengeringan terutama adalah luas permukaan benda, suhu
pengeringan, aliran udara, tekanan uap di udara, dan waktu pengeringan.
Prinsip penentuan kadar air yaitu mengukur kadar air
dengan menguapkan air yang ada dalam bahan pangan dengan pemanasan (lampu infra
merah). Kadar air bahan pangan langsung ditunjukan dalam persen pada skala
penunjuk kadar air.
Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dari praktikum Teknologi Hasil
Ternak ini adalah untuk mengetahui kemampuan
pengawet alami yang ada pada telur, untuk mengetahui penyebab kerusakan pada
telur, untuk mengetahui daya simpan telur pada keadaan mentah dan setelah
diolah, untuk mengetahui peran garam dalam pengawetan telur, untuk mengetahui
cara pengawetan dengan penggaraman basah dan penggaraman kering, untuk
mengetahui perbedaan kualitas telur dengan penggaraman basah dan penggaraman
kering, untuk mengetaahui peran dan fungsi kemasan dalam mempertahankan
kualitas bahan pangan, untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada daging yang
didinginkan dengan menggunakan kemasan dan tanpa kemasan, untuk mengetahui
peran dan fungsi kemasan dalam mempertahankan kualitas, untuk mengetahui
perubahan yang terjadi pada produk yang disimpan dalam kemasan dengan produk
tanpa kemasan, untuk mengetahui daya tahan simpan produk, untuk melihat
perubahan warna produk, untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada susu yang
difermentasi selama 12-14 jam pada suhu kamar, untuk mengetahui dripp daging
setelah pembekuan, untuk mengetahui driip dari berbagai irisan atau bagian
karkas ayam, untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap jumlah
driip yang dikeluarkan dari daging setelah pembekuan, untuk mengetahui
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kecepatan proses pengeringan, untuk
mengetahui cara mengukur kadar air pangan atau bahan pangan, dan untuk
mengetahui kadar air dengan deteksi infrared digital moisture balance.
Adapun
manfaat dari praktikum Teknologi Hasil Ternak ini adalah praktikan dapat
mengetahui berbagai proses ataupun tindakan dalam memperpanjang
umur simpan dari suatu produk pangan, dapat mengetahui cara pengawetan bahan
pangan, dapat mengevaluasi proses pengolahan bahan pangan ternak, serta
praktikan dapat menerapkan tindakan praktikum dalam kehidupan sehari-hari, dan
dapat mengetahui kualitas yang unggul dari setiap proses pengolahan hasil
ternak tersebut.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengawetan alami pada telur
Adnan,M (2002), yang menyatakan bahwa pada telur yang
sudah pecah akan mudah atau cepat mengalami kerusakan, karena akibat
mikroorganisme yang ada didalam telur tersebut akan cepat tumbuh dan
berkembang, sehingga telur tersebut akan rusak atau sudah berbau amis bahkan
akan berbau busuk.
Allen (2001), yang menyatakan bahwa telur yang direbus
bau (aroma) nya akan rusak pada hari yang ketiga sehingga, bau amis.
Antonius
(2001) menyatakan bahwa telur adalah sumber protein bermutu tinggi, kaya akan
vitamin dan mineral, protein telur termasuk sempurna karena menggandung semua
jenis asam amino esensial dalam jumlah cukup seimbang. Asam amino esensial
sanagat dibutuhkan oleh manusia, karena tidak dapat dibuat sendiri oleh tubuh
sehingga harus dipenuhi dari makanan yang dimakan.
Desrosier,
WN. (1988). Telur asin adalah salah satu produk olahan yang prinsip proses
pembuatannya adalah penggaraman.
Gaman,
MP, (1992). Diantara putih telur dan kuning telur dibatasi oleh suatu lapisan
yang tipis yang disebut kalaza kuning telur tersimpan di bagian pusat telur,
berbentuk hampir seperti bola.
Hadiwiyanto,S (2003), yang menyatakan bahwa pada telur
yang sudah diolah misalnya telur tersebut digoreng, maka bau (aroma) telur yang
sudah digoreng akan lebih cepat mengeluarkan bau (aroma) amis, dibandingkan
dengan bau dari telur yang hanya dipecahkan begitu saja.
Hari
Purnomo dan Adiono, 1985. Adanya jamur yang tumbuh pada permukaan telur serta
terjadinya perubahan warna telur disebabkan oleh aktivitas mikroba. Kapang
bersifat aerobik, paling banyak tumbuh pada permukaan bahan pangan yang
tercemar sehingga bahan pangan menjadi lekat, berbulu sebagai hasil produksi
miselium dan spora kapang.
Haris dan Kermas (2005), yang menyatakan bahwa pada telur
yang sudah digoreng (diolah), maka viscositasnya (kekentalan) sudah pecah/rusak
karena adanya pemanasan.
Murtidjo, BA (2006), yang menyatakan bahwa telur yang
kulitnya bersih mulus dan kerabangnya coklat menandakan ketebalan kerabang yang
merupakan salah satu faktor daya tahan simpan telur.
Pilliang,
(1995). Kerabang telur berfungsi melindungi
telur dari tekanan fisik dari luar, penetrasi mikroorganisme dari luar yang
menyebabkan kerusakan dan penghalang penguapan CO2 dan H2O.
Rasyaf, M (2007), yang menyatakan bahwa telur sangat
mudah mengalami kerusakan apalagi telur yang sudah tidak mempunyai kerabang sehingga
mikroba sangat mudh berkembang dalam telur khususnya pada telur putih.
Soewedo
Hadiwiyoto (1983), yang
menyatakan bahwa telur yang segar dapat dipertahankan kesegarannya dalam waktu
yang relatif lama apabila disimpan dalam ruangan yang bersuhu sekitar 0˚C.
Pengawetan dengan penggaraman
Buckle (2005), yang menyatakan bahwa didalam menentukan
apakah pembuatan telur asinnya berhasil atau tidak, maka harus berat jenisnya
lebih dari 1 ( > 1 ) sehingga
dapat dikatakan berhasil dan jika dibawah 1 ( < 1 ) dapat dikatakan belum
berhasil.
Cilly
Sirait (1986) menerangkan bahwa larutan yang
banyak digunakan dalam pengawetan telur adalah larutan garam, larutan kapur,
larutan natrium silikat dan larutan bahan penyamak.
Marhijanto
(1996) menyatakan bahwa nilai gizi telur dapat dipertahankan dalam waktu
relatife lama, syarat-syarat telur yang akan diasinkan adalah telur masih segar
dan baru, telur sudah dibersihkan dari kotoran, kulit telur masih utuh tidak
retak, sebelum diasinkan telur harus diamplas untuk mempermudah proses
pengasinan.
Rasyaf Muh
(1983) menyatakan bahwa telur asin adalah telur itik yang diolah dalam keadaan
utuh, dimana kandungan garam didalam telur dapat menghambat perkembangan
organism dan sekaligus memberikan aroma yang khas, sehingga telur dapat
disimpan dalam waktu relative lama.
Rasyaf, M
(2009), yang menyatakan bahwa pengawetan dengan cara merendam telur segar dalam
cairan yang dapat menutup pori-pori kulit, yang sekaligus juga bersifat
antiseptik hal dari pengawetan basah ini juga lebih bagus bila disimpannya
ditempatkan diruang yang bersuhu rendah.
Syamsixman
(1982) menyatakan bahwa proses pengasinan
dapat dibedakan menjadi 2, yaitu merendam telur dalam larutan garam jenuh dan
membungkus telur dengan adonan garam tembahkan pula teh pada pengasinan telur.
Soedjai
(2005) yang menyatakan bahwa pengawetan telur dapat dilakukan dentgan cara
melapisi kulit telur dengan pembungkus kering (dry packing), perendaman
(immertion in liquid), penutupan kulit dengan bahan pengawet (shell shealing) dan
penyimpanan dalam ruangan pendingin (coid store).
Soedjai
(2005) yang menyatakan bahwa hasil pengawetan akan terasa berbeda jika bahan
dan cara pengolahannya juga berbeda. Cita rasa ini dapat berupa warna, bau,
rasa, dan tekstur yang dapat meningkatkan tingkat kerusakan sehingga dapat
meningkatkan penurunan konsumsi.
Winarno
(1984) menyatakan bahwa cita rass bahan pangan terdiri dari 3 komponen, yaitu
bau, rasa dan rangsangan dari mulut. Cita rasa telur asin yang khas mungkin disebabkan oleh
beberapa factor, yaitu pemecahan senyawa didalam telur atau fermentasi mikroba
selama proses pengasinan.
Winarno
(2006), yang menyatakan bahwa cita rasa bahan pangan terdiri dari bau, rasa,
dan rangsangan dari mulut, cita rasa telur asin khas dapat disebabkan oleh faktor
pemecahan senyawa dalam telur atau fermentasi mikroba
Wiston (2003), yang menyataka bahwa didalam memberikan
nilai hedomik untuk pengawetan dengan penggaraman ini bernilai cukup baik
apabila nilai hedomiknya mendapatkan nilai suka dan biasa dan tidak ada kata
tidak suka.
Pengawetan
dengan bahan kimia (Curing)
Anonim (2000), yang
menyatakan bahwa kualitas daging pada pengolahan curing didasarkan pada jumlah
serat yang terkandung dalam lapisan daging untuk menyerap partikel nitrat.
Anomymous
(2006), yang menyatakan bahwa tujuan dari
curing ini yaitu untuk mempertahankan warna merah daging ataupun ikan, memberi
rasa pada daging dan ikan, dan sebagai pengawetan.
Arbianto, P (2000), yang menyatakan bahwa larutan sodium
nitrat akan berpolimerase dalam mengikat pengawet dalam endapan nitrat.
Partikel yang terbentuk akan mengubah warna daging dengan resapan oleh daging
yang berasal dari dalam larutan nitrat itu.
Arief, N.A. (2003), yang menyatakan bahwa didalam
pengawetan dengan bahan kimia (curing) pada daging yang diberikan Nitrat dapat
memberikan atau mempertahankan warna merah daging 9warna merah cerah) selama
beberapa minggu dibandingkan dengan perlakuan daging tanpa diberi Nitrat.
Chowdrhury, (2006) ,Curing daging adalah cara mengolah
daging dengan menambahkan beberapa bahan seperti garam (NaCl, Natrium Nitrit,
dan Natrium Nitrat), Gula (Sukrosa atau patihidrolisis) serta bumbu. Curing
bertujuan untuk mempertahankan warna merah pada daging dan untuk medapatkan
aroma, tekstur dan kelezatan yang baik. Selain itu, curing juga untuk
mengurangi pengerutan daging selama diolah dan memperpanjang ,asa simpan produk
daging.
Ferdenan, S (1998), yang menyatakan bahwa teknik
pengolahan hasil daripada ternak, harus didasarkan pada spesifikasi bahan
pengawet yang digunakan untuk tidak menimbulkan efek negatif daripada bahan
pengawet tersebut.
Gultom, S (2004), yang menyatakan bahwa nitrat yang
melebihi dosis penggunaan dalam pengolahan, dapat mengundang spesimen berbahaya
dalam bahan pangan yang merusak struktur fisk dari pangan tersebut dan dapat
menimbulkan keracunan jika dikonsumsi.
Hadiwoyoto (2002), yang menyatakan bahwa selama
pengamatan dengan curing pada daging, faktor pemberian nitrat dalam daging
bersama larutan menunjukan efek serap warna saat mengamati daging didalam wadah
tersebut sehingg hal tersebut jelas terbukti bahwa sodium nitrat sangat
berpengaruh besar dalam daging sebagai unsur pengaawet.
Pilliang (1995), Umumnya komposisi daging yang
mendapat proses curing sangat berbeda dari daging segar.
Lawrie,
AR (1995). Selain daripada kadar garam dari brine dan struktur mikroskopis dari
urat-urat daging, ada berbagai faktor lain yang mempengaruhi penetrasi garam
selama proses curing.
Lawrie (2003) yang menyatakan bahwa fungsi
nitrit dalam curing yaitu dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Nitrit ini
biasanya digunakan dalam curing daging yang mengandalkan kekuatan garam sebagai
pengawet.
Petrucci
(1993) mengatakan bahwa bahan kimia nitrit dan nitrat merupakan bahan kimia
yang dapat digunakan dalam pengawetan bahan pangan daging maupun bahan pangan
lainnya.
Syarif
(2003) mengatakan bahwa pada dasarnya prinsip dari pengawetan bahan pangan
dengan bahan kimia yaitu mencegah pertumbuhan mikroba, menghentikan
proses-proses pembusukan oleh mikroba pada bahan pangan.
Winarto
(2000) yang menyatakan bahwa daging yang dicuring dengan penambahan nitrat akan
menghasilkan warna merah daging yang lebih bagus dibanding daging yang tidak
dicuring.
Yati, W. (2001), yang menyatakan bahwa pengawetan dengan
bahan kimi (curing) pada daging yang tidak diberikan nitar tidak lama dalam
mempertahankan warna daging (warna merah cerah) selama berapa minggu bahkan
juga selama beberapa hari.
Pengawetan dengan fermentasi
Buckle
(2008), yang menyatakan bahwa fermentasi
oleh bakteri akan menghasilkan asam. Produk yang difermentasi akan lebih bagus
dibandingkan dengan produk yang tidak difermentasi.
Gaman
(2001), yang menyatakan bahwa bakteri Lactobacillus
casei dalam proses fermentasi yaitu menekan pertumbuhan bakteri phatogen,
sehingga produk akan tahan lama, membantu proses pencernaan dalam tubuh dan
akan menghasilkan rasa asam pada produk.
Hadiwiyoto,
(1983). Protein yang sering
digunakan dalam fermentasi bahan pangan terutama susu antara lain Lactobacillus
casie, merupakan bakteri baik yang dapat menekan patogen dalam saluran
pencernaan.
Harris (2001), yang menyatakan bahwa nilai rasa dari
yoghurt dan plantarum yang dimasukan ke dalam susu ini akan berubah tergantung
dari lama cepatnya waktu yang digunakan dalam melakuka fermentasi susu.
Hardjowigeno.S (2000), yang menyatakan bahwa susu yang
dicampurkan dengan yoghurt dan yakult maka akan mengeluarkan atau menghasilkan
aroma khas susu.
Nulik, J. (2001), yang menyatakan bahwa daging yang terlihat
utuh dan teksturnya tetap menarik, hal ini disebabkan karena penyimpanan yang
cukup lama pada suhu kamar, sehingga daging mengalami dehidrasi pengeringan.
Robert
(1989) menyatakan bahwa susu fermentasi diketahui mengandung bakteri asam
laktat yang mampu meningkatkan kerja enzim galaktosidae yang memudahkan
pencernaan laktosa dalam usus, meningkatkan kualitas nutrisi, menurunkan kadar
kolesterol darah, mencegah kanker dan mengatasi diare.
Soerpardi, G.(2003), yang menyatakan bahwa didalam
pengawetan dengan cara difermentasi pada pengujian warna dengan menggunakan
susu segar dicampurka dengan yoghurt, plantarum, dan yakult aka warnanya tetap
berwarna putih susu.
Santoso (2000),
yang menyatakan bahwa penyimpanan susu fermentasi ini didalam tabung/botol yang
tertutup dapat mengakibatkan penggumpulan, namun bakteri pada susu fermentasi
menyebabkan keasaman dan timbulnya gas-gas tertentu didalam susu dan keasaman
terjadi karena pnggumpalan protein susu tersebut.
Pengawetan dengan pengemasan
Bambang,
S (2007), yang menyatakan bahwa pengawetan atau penyimoanan pada suhu rendah
lebih tahan lama dari pada disuhu kamar karena pada suhu rendah pertumbuhan
mikroba akan terhambat.
Brody (2000), yang menyatakan bahwa pengemasan merupakan
suatu cara dalam memberikan kondisi sekeliling yang tepat bagi bahan pangan da
dengan demikian membutuhkan pemikiran dan perhatian yang lebih besar daripada
yang biasanya diketahui.
Fennema (2002), yang menyatakan bahwa ada 2 pengaruh
pendinginan terhadap makanan diantaranya penurunan suhu akan mengakibatkan
penurunan kimi, mikrobiologi dan biokimia yag berhubungan dengan kelayuan
(senescene), kerusakan (decay) pembusukan dan yang kedua adalah pada suhu
dibawah 0 oC air akan membeku dan terpisah dari larutan yang
membentuk es, yang mirip dalam hal air yang diuapkan paada pengeringan atau
suatu penurunan Aw (aktivitas air).
Hadi
wiyoto (2007), yang menyatakan bahwa penyimpanan yang baik tidak bisa menjamin
kualitas bahan karena adanya sifat alami bahan yang dapat mengalami kerusakan walupun
sudah ada proses pengawetan yang bertujuan untuk mencegah proses kerusakan.
Hardono.S. (2000), yang menyatakan bahwa penentuan daya
awet dapat dilakukan dilaboratorium dengan cara menilai mutu bahan pangan bila
disimpan didalam bahan pengemas tertentu untuk jangka waktu yang berbeda-beda
di bawah kondisi standar.
Hari
Purnomo dan Adiono (1985), pengemasan pada daging segar
memiliki tujuan utama yakni untuk mengurangi kehilangan air atau susut bobot,
mencegah masuknya bau dari luar dan membatasi jumlah oksigen.
Karel (2004), yang menyatakan bahwa ada suatu metode yang
teliti untuk menentukan daya tembus plastik-plastik tipis yang bersifat
fleksibel terhadap oksigen, tetapi diperlukan suatu pekerjaan untuk penerapan
hasil-hasil yang dicapai dengan metode-metode tersebut dalam pengemasan
bahan-bahan pangan yang peka terhadap oksigen.
Piliang
(2005), yang menyatakan bahwa cara mempertahankan klualitas susu dari
serangan mikroba yaitu dengan cara dipanaskan atau pasteurisasi pada suhu 72
derjat celcius selama 15 detik atau 65 derajat celcius selam 30 menit.
Robert
(2009), yang menyatakan bahwa penyimpanan daging pada suhu dingin dapat
menyebabkan kerusakan apabila terlalu lama disimpan.
Soeparno
1994, bahwa penyimpanan daging pada suhu dingin meskipun dalam waktu singkat
diperlukan untuk mengendalikan kerusakan dari perlakuan mekroorganisme perusak,
metode yang banyak digunakan untuk memperpanjang masa simpan daging yaitu
dengan pendinginan dengan suhu sampai 5ºC.
Pengawetan Dengan Pembekuan
Anonymous (1996), ytang menyatakan bahwa suatu bahan
pangan yang banyak mengandung air yang banyak ataupun sedikit akan mengalami
perbedaan berat bahan tersebut.
Davies (2002), yag menyatakan bahwa apabila suhu
penyimpanan beku cukup rendah dan perubahan kimiawi selama pembekuan dan
penyimpanan beku dapat dipertahankan sampai batas minimum, maka mutu makanan
beku dapat dipertahankan untuk jagka waktu yang cukup lama.
Goliblith (2003), yang menyatakan bahwa kontak secara
tidak langsung misalnya pada saat alat pembeku lempeng (plate freezer) dimanan
makanan atau cairan yang telah dikemas kontak dengan permukaan logam
(lempengan, silindris) yang telah dikemas dengan mensirkulasikan cairan
pendingin (alat pembeku lempeng banyak) merupakan sudah satu teknik pembekuan.
Lawrie (1997), yang menyatakan bahwa pada ruangan terbuka
bahan akan mengalami perubahan yang berupa adanya penguapan yang dapat
menyebabkan kekeringn pada bahan tersebut.
Mach Bean (2000), yang menyatakan bahwa pemilihan suhu
rendah yang dapat menghindarkan pembekuan bagian tipis daripada karkas dan
pengemsannya seketat mungkin dalam pelaksanaannya suhu ii adalah – 1,5 o C
hingga 0,2 oC.
Pengawetan Dengan Pengeringan
Bernando (2001), yang menyatakan bahwa tujuan pengawetan
yaitu menjaga ketahanan terhadap serangan jamur (kapang), bakteri, virus, dan
kuman agar daging tidak mudah rusak. Ada beberapa cara pengawetan yaitu
pendinginan, pelayuan, pengasapan, pengeringan, pengalengan dan pembekuan.
Bender dan Muchtadi (2002), yang menyatakan bahwa
prosedur memasak tradisional hanya menimbulkan berkurangnya nilai biologis
daging yang berarti dalam pengolahan dendeng tidak terjadi kerusakan protein
yang hebat, karena nilai gizi protein yang tinggi pada dendeng dapat
dipertahankan tapa menimbulkan pengaruh atas keamanan untuk dikonsumsi manusia.
Buckle (2004), yang menyatakan bahwa untuk mempengaruhi
tingkat kadar air yang dikeluarkan oleh arus udara pans (yang digunakan dalam proses),
maka perlu untuk mempunyai rasio permukaan volume yang tinggi dalam daging,
oleh karena itu digunkan daging yang sudah dipotong-potong halus.
Handiwiyoto,
Soeswodo (1983) menyatkan bahwa pengeringa dengan menggunakan sinar matahari
sebaiknay dilakukan ditempat yang udaranya kering dan suhu nya lebih dari 100oF.
Pengeringan dengan metode ini memerlukan waktu 3-4 hari. Pengeringan dengan
menggunakan oven dapat dilakukan dengan mengatur panas, kelembaban dan kadar
air. Waktu yang diperlukan 5-12 jam agar bahan menjadi kering, temperature oven
diatas 1400F.
Hermana (2000), yang menyatakan bahwa daging adalah urat
yang melekat pada kerangka, kecuali dari bagian bibir, hidung, dan telinga dari
hewan yang sekat sewaktu dipotong. Daging terdiri dari otot, jaringan
penghubung dan jaringan ternak.
Hermansya,M.(2002), yang menyatakan bahwa penyimpanan
bahan makanan yang cukup lama selama suhu 60 oC dan 40 oC
akan menyebakan daging dehidarasi dalam pengeringan daging merupakan bahan
pangan yang sangat mudah rusak, karena memiliki senyawa biologis yang masih
aktif.
Maha (2000), yang menyatakan bahwa pembuatan dendeng ayam
merupakan salah satu usaha pengawetan daging. Dendeng yang dibuat dendeng yang
bisa diperoleh aroma lain dan dendeng yang baik dapat dismpan sampai 60 hari.
Robert
(1982) menyatakan bahwa tujuan pengeringan untuk mengurangi kadar air bahan
sampel batas dimana perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat
menyebabkan pembusukkan terhambat.
Soewodo
(1983) menyatakan bahwa pengeringan adalah suatu cara atau proses untuk
mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan
sebagian besar air yang dikandungnya dengan menggunakan energy panas, biasanya
kandungan air bahan dikuranngi sampai batas dimana mikroba tidak tidak dapat
tumbuh lagi didalamnya.
Sofyan (2001), yang menyatakan bahwa pengawetan daging
merupakan suatu cara menyimpan daging untuk jagka waktu yang cukup lama agar
kualitas maupun kebersihannya tetap terjaga.
Suetarno
(1992) menyatakan bahwa pengeringan dengan pemanas buatan mempunyai beberapa
tipe alat dimana pindah panas berlansung secara konduksi atau konversi,
mesakipun ada beberapa yang dapat dilakukan dengan cara radiasi. Alat pengering
dengan menggunkan pindah panas secara konversi pada umumnya menggunkan udara
panas yang dialirkan, sehingga energy panas merata keseluruh bahan.
Winarno (1987)menyatakan bahwa
terdapat dua metode pengeringan, yaitu dengan metode sun drying dan metode
artificial drying. Sun drying, yaitu suatu proses pengeringan dengan
menggunakan panas matahari. Sedangkan artificial drying, yaitu suatu proses
pengeringan dengan menggunakan panas yang berasal dari suatu mesin pengering.
Keuntungan suhu dan waktu pengeringan dapat diatur serta kebersihan pangan
lebih terjamin.
Penentuan Kadar Air dengan Infrared
Digital Moisture Balance
Buckle (2004), yang menyatakan bahwa untuk mempengaruhi
tingkat kadar air yang perlu untuk mempunyai rasio permukaan volume yang tinggi
dalam daging oleh karena itu digunakan daging yang sudah dipotong-potong halus.
Hadiwiyato,S (2003), yang menyatakan bahwa penentuan
kadar air bahan pangan akan efisien dan praktis dengan menggunakan media infra
merah dengan kualitas tentu yang cukup efisien.
Purnomo (2004), yang menyatakan bahwa air bebas dengan
mudah hilang bila terjadi pengeringan dan penguapan, sedangkan air terikat
sulit dibebaskan denga cara tersebut.
Winarno, (2003), yang menyatakan bahwa daging memiliki
komposisi yang terdiri dari 75 5 air, 18 % protein, 4 % protein yang dapat
larut (termasuk mineral) dan 3 5 lemak. Diperoleh hasil kadar air pada
percobaan ini adalah tetap normal.
MATERI DAN METODA
Waktu dan Tempat
Praktikum
Teknologi Hasil Ternak ini dilaksanakan setiap hari Senin
pukul 13.30- 15.30 WIB yang dimulai dari Tanggal 11
April 2013 - 2 mei 2013 di Laboratorium
Tekhnologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi.
Materi
Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum Dasar
Teknologi Hasil Ternak ini adalah telur ayam ras, minyak goreng, telur itik 5
butir, garam halus 60 gram, kapur sirih, air matang yang telah dingin, serbuk
batu bata 30 gram, abu gosok, larutan teh, daging, kemasan plastik poli etilen,
susu pasteurisasi, daging sapi atau kerbau, gula pasir, air, sodium nitrat, susu
segar, bakteri starter lactobacillus casei ataupun yakult yang sudah jadi, susu
bubuk 2 sendok, sirup, daging ayam, daging ayam 300 gram, bawang putih 6 gram,
ketumbar 9 gram, gula merah 90 gram, garam 9 gram, asam jawa 3 gram, daging
ayam 1-2 gram, tissue dan sabun.
Adapun alat yang digunakan dalam
praktikum ini adalah piring, penggorengan, amplas, sabut, stoples atau ember,
ember plastik, pisau, refrigerator, sealer (perekat plastik), gelas atau botol,
panci, kompor, timbangan, toples (botol), panci email, alat pengaduk, freezer,
telenan, termometer, plastik, timbangan ohaus, food processor, baskom, daun
pisang, oven, botol kecil 3 buah, eksikator, peralatan infrared digital
moisture balance.
Metoda
Pengawetan
Alami Pada Telur
Adapun cara kerja yang digunakan dalam praktikum ini
adalah siapkan 3 butir telur dan bersihkan dari kotoran yang ada pada permukaan
kerabang,masing-masing telur diberi tanda sesuai dengan perlakuan yaikni: T-1=
biarkan telur dalam keadaan utuh dan mentah, T-2= pecahkan telur dan letakkan
dalam piring, T-3= rebus telur sampai masak (10 menit), kemudian kupas dan
letakkan dalam piring, T-4= goreng telur menjadi telur mata sapi dan letakkan
dalam piring, kemudian letakkan semua perlakuan telur diatas dalam ruangan
dengan kondisi suhu dan kelembapan kamar, amati semua perlakuan tersebut sehari
2 kali selama 5 hari.
Pengawetan dengan penggaraman
Pengawetan dengan penggaraman, yaitu pembuatan telur asin dengan media cair
yang dilakukan adalah telur dicuci dengan air dan digosok dengan sabut,
kemudian dilap dengan kain kering, kerabang telur diamplas, telur direndam
dalam laruran garam ( air : garam = 3 : 1 ), tambahkan sedikit kapur, kemudian
disimpan dalam ember yand ditutup selama 8 – 10 hari dan terakhir direbus.
Sedangkan pembuatan telur asin dengan pembalutan adalah telur dibersihkan, buat
campuran antara garam halus, serbuk batu bata dan abu gosok dengan perbandingan
4 : 3 : 3, campuran tersebut dibuat menjadi pasta dengan menambah larutan teh,
telur di bungkus dengan pasta tadi, simpan pada ember dan ditutup rampat selama
8 – 10 hari, kemudian rebus hingga masak dan bandingkan hasilnya dengan cara
basah.
Curing (Pengawetan dengan bahan kimia)
Curing (pengawetan dengan bahan
kimia), yang dilakukan adalah menyiapkan dua potong daging masing – masing 100
gram, buat larutan yang terdiri atas 7,26 gram garam, 2,70 gram gula, 0,23 gram
sodium nitrat dan 45,5 ml air, dan buat larutan lain tanpa sodium nitrat,
masukkan masing – masing daging dalam larutan tersebut, simpan dalam suhu
refrigerator selama tujuh hari dan amati perubahan yang terjadi.
Pengawetan dengan fermentasi
Adapun cara
kerja dalam Pengawetan dengan fermentasi yang dilakukan adalah Siapkan 1 liter susu lalu
panaskan(pasteurisasi) sampai mendidih, tambahkan susu bubuk sebanyak 5 % dari
berat susu, sedikit demi sedikit sambil terus diaduk, kemmudian dinginkan
sampai suhu 45 C (agak hangat) selanjutnya susu tersebut dibagi menjadi 3
(tiga) bagian : a. Susu YK-1 ditambahkan starter (yakult) 2 sendok teh,
b. Susu YK-2 ditambahkan starter (yakult) 3 sendok teh, c. Susu Yk-3 ditambahkan starter
(yakult) 4 sendok teh, susu yang telah dicampur dengan yakult, kemudian
dimasukkan kedalam botol kecil yang tertutup rapat, biarkan pada suhu kamar
(25-270C) selama 12-14 jam, kemudian amati perubahan selam proses
fermentasi dan lakukan uji organoleptik.
Pengawetan
dengan pembekuan
Adapun cara kerja dalam Pengawetan dengan pembekuan, yang
dilakukan adalah Siapkan
karkas ayam dan belah menjadi 2 bagian , yaitu karkas kiri dan kanan,
masing-masing pisahkan berdasarkan irisan karkas yang meliputi: irisan
punggung, sayap dada, paha atas dan paha bawah, lalu timbang masing-masing
irisan karkas dan selanjutny masukkan dalam kemasan plastik dan setelah diberi
tanda lalu masukkan semua kemasan karkas kedalam frezzer selama 48 jam, setelah
itu cairkan (thawing) kemasan karkas dengan ketentuan: irisan karkas bagian
kiri di thawing pada suhu kamar sampai irisan karkas lunak dan karkas bagian
kanan di thawing pada refrigrator selam 2 jam dan selanjutnya thawing pada suhu
kamar sampai irisan lunak, selanjutnya keluarkan irisan karkas dari kemasan
plastik dan timbang lalu hitung driip dari masing-masing irisan karkas dengan
rumus :
% dripp = Bobot sebelum dibekukan – Bobot setelah
di thawing x 100 %
Bobot sebelum dibekukan
|
Pengawetan dengan pengemasan
Pengawetan dengan pengemasan pertamakali yang dilakukan adalah Pengemasan
dengan pendinginan yaitu, menyiapkan daging sapi dua potong dengan ukuran 5 x
10 cm, daging disimpan dalam refrigerator pada suhu rendah (1 – 10°C) dengan ketentuan daging I daging
dimasukkan dalam plastik poli etilen dan rekatkan, daging II daging dibiarkan
terbuka dalam refrigerator,amati perubahan yang terjadi pada daging setiap hari
selama lima hari, daging diukur dan ditentukan kadar air masing – masing
daging. Sedangkan pengemasan produk ternak yang dilakukan, yaitu menyiapkan
susu segar sebanyak 0,5 liter, pasteurisasi susu tersebut pada suhu 72°C selama 15 detik, susu dimasukkan
kedalam empat botol, dua botol disimpan pada suhu kamar, dua botol disimpan
suhu rendah, salah satu dari botol tutupnya dibuka dalam masing – masing
penyimpanan, amati perubahan yang terjadi pada susu setiap 8 jam selama 2 hari.
Pengawetan dengan pengeringan
Daging dicacah, selanjutnya
dihaluskan dengan food processor, haluskan semua bumbu (bawang putih,
ketumbar, gula merah, garam, asam jawa) kemudian dicampur dengan daging ayam
dalam food Processor, buat lapisan tipis (sekitar 3-5 mm) adonan yang
sudah siap letakkan diatas daun pisang, kemudian keringkan dalan oven dengan 2
perlakuan yakni: dendeng 1 dikeringkan dalam oven selama 36 jam pada suhu 600C
dan dendeng 2 dikeringkan dalam oven selama 72 jam pada suhu 400 C.
Adapun cara kerja penghitungan kadar
air dendeng sebagai berikut : Panaskan botol timbang dalam oven pada suhu 1050C
selama ½ jam, kemudian masukkan ke dalam desikator, tutup rapat desikator dan
selanjutnya timbang dan catat berat botol (W), masukkan sampel seperlunya
kedalam botol timbang, kemudian catat botol serta sampel (W1), masukkan dan
panaskan botol timbang dalam oven pada suhu 1050C selam 24 jam,
kemudaian angkat dan dinginkan dalam eksikator dan selanjutnya timbang (W2) dan
kadar air dendeng dapat dihitung dengan runus:
Kadar air bahan =100 (W1-W2)
(W2 - W)
Penentuan Kadar
Air dengan Infrared Digital Moisture Balance
Adapun cara kerja yang digunakan dalam praktikum ini
yaitu siapkan daging sapi sebanyak 1-2 gram, kemudian letakkan dalam plastik
perak detection, kemudian sampel daging yang ada pada kertas perak detection
diletakkan diatas ruang infrared medium, dan peralatan moisture balance
diinstruksikan, waktu penentuan kadar air akan terdeteksi sampai kadar air
diperoleh, hasil kadar air yang diperoleh dibandingkan denga kadar air yang
ditentukan.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Tujuan utama usaha peternakan
adalah untu mendapatkan hasil/produk ternak yang berkualitas baik sehingga aman
dan sehat bagi konsumen. Aspek produksi ini sangat penting karena menentukan
produk akhir dari produk ternak. Sebagai contoh adalah bahwa usaha peternakan
pedaging adalah bertujuan utama untuk mendapatkan daging atau karkas yang baik.
Kualitas karkas dan daging sangat ditentukan oleh genetik dan lingkungan.
Genetik di sini meliputi spesies, bangsa (breed), tipe ternak dan jenis
kelamin. Sedangkan faktor lingkungan seperti nutrisi, pemeliharaan, pemakaian
zat aditif, umur pemotongan, dan lain-lain. Demikian halnya dengan produksi
susu dan telur, yang pada aspek produksi ini sangat dipengaruhi/ditentukan oleh
genetik dan lingkungan.
Adapun hasil yang diperoleh pada praktikum Teknologi
Hasil Ternak ini adalah bahwa pada setiap pengamatan menunjukkan hasil yang
berbeda-beda, artinya dalam setiap pengamatan pada bahan baku praktikum yaitu
hasil olahan ternak dalam kinerja praktikum menunjukkan hasil yang
berbeda-beda.
Bahan pangan
merupakan materi yang mudah rusak (perishable). Dengan sifat yang
mudah rusak, maka bahan pangan mempunyai masa simpan yang terbatas.
Bermacam-macam teknik pengawetan dan pengolahan bahan pangan dilakukan untuk
memperpanjang marketable life komoditas hasil pertanian di antaranya
pengeringan, pembekuan, penggunaan bahan kimia dan iradiasi. Tujuan
pengawetan pangan adalah untuk menghambat atau mencegah terjadinya kerusakan
pangan, mempertahankan kualitas bahan, menghindarkan terjadinya keracunan dan
mempermudah penanganan serta penyimpanan. Bahan pangan yang awet
mempunyai nilai yang lebih tinggi karena terjadinya kerusakan dapat
diperkecil. Namun demikian metode pengawetan
tidak selalu dapat mempertahankan kualitas asal bahan pangan atau kandungan
gizi dari komoditas yang diawetkan.
Pengawet Alami
Pada Telur
Telur
merupakan salah satu hasil ternak yang dihasilkan oleh ternak unggas, kualitas
telur ditentukan oleh 2 faktor, yaitu kulitas luarnya berupa kulit cangkang dan
isi telur. Kualitas luar ini bisa berupa bentuk, warna, keutuhan dan kebersihan
kulit cangkang. Sedangkan yang berkaitan dengan isi telur meliputi kekentalan
putih telur, warna dan posisi telur, serta ada tidaknya noda-noda pada putih
telur, dan kuning telur.
Telur yang
segar baik ditandai oleh bentuk kulitnya yang bagus, cukup tebal, tidak cacat
(retak), warnanya bersih, rongga udara dalam telur kecil, posisi kuning telur
ditengah-tengah, dan tidak terdapat bercak atau noda darah.
Adapun hasil yang diperoleh pada pengawetan alami pada
olahan hasil ternak adalah bahwa dalam pengolahan hasil ternak yang secara
alami pada dasarnya menunjukkan kualitas olahan yang sederhana. Artinya rentan
waktu yang dapat digunakan untuk mempertahankan kualitas dan kuatitas daripada
hasil olahan ternak tersebut adalah rendah.
Menurut
Antonius (2001) menyatakan bahwa telur adalah sumber protein bermutu tinggi,
kaya akan vitamin dan mineral, protein telur termasuk sempurna karena
menggandung semua jenis asam amino esensial dalam jumlah cukup seimbang. Asam
amino esensial sangat dibutuhkan oleh manusia, karena tidak dapat dibuat
sendiri oleh tubuh sehingga harus dipenuhi dari makanan yang dimakan
Tabel 1. Hasil Pengamatan Pengawetan
Alami Pada Telur.
Peubah
|
Prlkn
|
Pengamatan
hari ke :
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
Bau
|
T-1
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
T-2
|
Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
T-3
|
Normal
|
Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
T-4
|
Normal
|
Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Warna
|
T-1
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
T-2
|
Normal
|
Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
T-3
|
Normal
|
Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
T-4
|
Normal
|
Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Viscositas
|
T-1
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
Normal
|
T-2
|
Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
T-3
|
Normal
|
Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
T-4
|
Normal
|
Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Tidak Normal
|
Pengamatan
yang dilakukan pada pengawetan alami pada telur bertujuan untuk mengetahui
kamampuan pengawetan alami yang ada pada telur dan untuk mengetahui daya simpan
telur pada keadaan mentah dan setelah diolah. Dan setelah proses pengamatan
berlangsug ternyata kemampuan pengawetan pada telur tidak mampu bertahan lama
semua hanya berlangsung selama ± 2 hari. Setelah itu telur akan mengalami
perubahan baik bau, dan perubahan warna terjadi perubahan warna telur tersebut
dan dibuang.
Gambar 1. Telur
T-1 metah dan utuh
Pengamatan
pada T-1 ternyata telur T-1 masih bisa bertahan selama 7 hari
pegamatan dan akan bertahan lebih lama ± 2-3 minggu karena telur mempunyai kerabang yang berperan
untuk melindungi telur dari tekanan fisik dari luar. Hal tersebut
sesuai dengan pendapat Pilliang,
(1995). Yang
menyatakan bahwa Kerabang
telur berfungsi melindungi telur dari tekanan fisik dari luar, penetrasi
mikroorganisme dari luar yang menyebabkan kerusakan dan penghalang penguapan CO2
dan H2O.
Gambar 2. Telur
T-2 yang dipecah dan diletakan dipiring
Pengamatan
pada T-2 setelah diamati ternyata daya simpan telur T-2 tidak bisa bertahan
lama karena telur mengalami penguapan karbondioksida (CO2) dan uap
air (H2O) dari alam. Hal ini sesuai dengan pendapat Haryoto (1996) menyatakan bahwa kerusakan isi telur
disebabkan adanya C02 yang terkandung didalamnya sudah banyak
keluar, sehingga derajat keasaman meningkat penguapan yang terjadi juga
menyebabkan bobot telur menyusut dan putih telur menjadi encer, masukknya
mikroba kedalam telur melalui pori-pori telur juga akan merusak isi telur.
Gambar 3. Telur T-3 direbus
Pengamatan
pada telur T-3 juga tidak tahan akan daya simpan karena kerabang telur tidak
melindungi telur sehingga telur cepat mengalami kerusakan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Adnan, M (2002), yang menyatakan bahwa pada telur yang sudah
pecah akan mudah atau cepat mengalami kerusakan, karena akibat mikroorganisme
yang ada didalam telur tersebut akan cepat tumbuh dan berkembang, sehingga
telur tersebut akan rusak atau sudah berbau amis bahkan akan berbau busuk.
Gambar 4. Telur
T-4 telur digoreng mata sapi
Pengamatan pada telur perlakuan T4 tidak tahan dengan
daya simpan bau nya lebuh menyengat dibandingkan telur yang dipecah begitu saja
dan ditakan dipiring. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadiwiyanto,S (2003), yang
menyatakan bahwa pada telur yang sudah diolah misalnya telur tersebut digoreng,
maka bau (aroma) telur yang sudah digoreng akan lebih cepat mengeluarkan bau
(aroma) amis, dibandingkan dengan bau dari telur yang hanya dipecahkan begitu
saja.
Dari pengamatan di atas dapat
disimpulkan ke empat telur T-1, T-2, T-3, dan T-4 mempunyai daya simpan yang
berbeda – beda. Telur T-1 lebih tahan lama awet karena masih dalam keadaan utuh
dan dilindungi kerabang. Sedangkan telur yang lain dengan perlakuan yang
berbeda mempunyai daya tahan yang lebih rendah dan cepat rusak.
Pengawetan dengan Penggaraman
Adapun hasil yang diperoleh pada praktikum pengawetan
dengan penggaraman tersebut yaitu bahwa kualitas pembuatan telur asin lebih
efisien dengan cara kering dibandingkan dengan cara basah. Hal itu jelas
terlihat daripada kualitas telur asin yang telah diuji. Efisiensi penyerapan
garam jauh lebih besar terjadi pada telur asin dengan cara pembalutan (dengan
media kering).
Berikut ini adalah tabel yang menjelaskan perbandingan
kualitas dan kuantitas daripada telur asin yang dibuat dengan cara basah dan
dengan cara kering, sebagai berikut:
Tabel 2. Hasil Pengamatan Telur Asin
dengan Pengawetan Penggaraman
Penggaraman
|
Unit Telur
|
Bobot Awal (gr)
|
Bobot Akhir (gr)
|
Penyusutan (%)
|
Volume
ml
|
Berat jenis (BJ)
|
Basah
|
1
|
67,238
|
66,6
|
0,638
|
51
|
1,305
|
2
|
61,237
|
60,2
|
1,073
|
48
|
1,254
|
3
|
64,598
|
63,1
|
1,498
|
50
|
1,262
|
Rataan
|
64,37
|
63,1
|
1,069
|
49,67
|
1,273
|
Kering
|
1
|
50,641
|
58,1
|
0,541
|
48
|
1,210
|
2
|
58,344
|
57,89
|
0,454
|
47
|
1,231
|
3
|
76,050
|
75,10
|
0,950
|
51
|
1,472
|
Rataan
|
61,678
|
63,696
|
0,648
|
48,67
|
1,304
|
Dari hasil praktikum yang di lakukan
dapat di ketahui bahwa pada proses penggaraman ini terjadi penyusutan bobot
telur pada penggaraman dengan cara basah terdapat telur yang busuk yaitu telur
no 2. hal ini di tandai dengan bau yang busuk saat tercium. Telur yang busuk
ini di sebabkan karena telur tersebut telah lama (umur telur telah tua/lama).
Pada
saat penggaraman dengan cara kering terdapat 2 butir telur yang busuk yaitu
telur no2 dan no3. Saat telur di cuci kerabang telur tampak berubah warna yaitu
agak kuning kecoklatan, hal ini di sebabkan karena pengaruh dari busuk the dan
serbuk batu bata yang di berikan pada saat pembalutan
Tabel 3. Hasil Pengamatan Cita Rasa
Penggaraman
|
Nilai
Hedonik
|
Bau
|
warna
|
Tekstur
|
Rasa
|
Alb
|
yolk
|
Alb
|
yolk
|
Alb
|
yolk
|
Alb
|
yolk
|
Basah
|
Sgt
suka
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Suka
|
|
|
|
|
|
|
√
|
√
|
Biasa
|
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
|
|
tdk
suka
|
√
|
|
|
|
|
|
|
|
Sgt
tdk suka
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Kering
|
Sgt
suka
|
|
|
|
|
|
|
|
√
|
Suka
|
|
√
|
√
|
√
|
√
|
√
|
|
|
Biasa
|
√
|
|
|
|
|
|
√
|
|
tdk
suka
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Sgt
tdk suka
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Berdasarkan data dalam tabel diatas yang diperoleh untuk
pengamatan citarasa bahwa pada umumnya untuk penggaraman basah memiliki nilai
hedonik yang cukup baik, karena dari bau dan warnanya yang bernilai suka,
sedangka untuk tekstur dan rasanya bernilai biasa saja. Dan untuk penilaian
penggaraman kering memiliki nilai hedonik yang cukup baik, juga karena dari
bau, tekstur, dan rasanya bernilai biasa saja, sedangkan untuk warna dan
rasanya bernilai suka. Sesuai denga pendapat Winston, (2003), yang menyatakan
bahwa didalam memberikan nilai hedonik untuk pengawetan dengan penggaraman ini
bernilai cukup baik apabila nilai hedoniknya mendapat nilai suka dan biasa dan
tidak ada pernyataan tidak suka.
Diagram
pembuatan Telur Asin Praktikum Tekhnologi Hasil Ternak
....
Dari diagram diatas dapat diperjelas
lagi bahwa sebelum
telur dibalut, telur harus dibersihkan terlebih dahulu supaya tidak
ada kotoran pada kerabang telur tersebut, lalu pembuatan pasta dimulai dengan pencampurkan abu
gosok, garam dan dan serbuk batu
bata yang telah dihaluskan dan tambahkan air secukupnya, setelah pasta tersebut
jadi, balut telur dengan pasta tersebut sampai telur benar-benar terbalut, lalu
simpan dalam ember kecil.
Setelah disimpan selama 7 hari maka telur dapat dibersihkan
dan direbus, dan ada lagi cara pemasakannya yang berbeda dengan cara telur
dibersihkan dari balutan pasta dan telur siap dimakan. Yang dikatakan dengan bakteri pembusuk adalah, masuknya
mikroba dari pori-pori telur sehingga dapat menyebabkan kualitas dari telur
rusak, mencegah keluarnya air dari telur adalah bahwa telur juga dapat
mengalami penguapan dan penguapann tersebut juga dapat membuat kualitas pada
telur rusak.
Pori-pori
yang ada pada permukaan telur juga merupakan jalan bagi invasi mikroba kedalam
telur serta penyerapan bau terhadap lingkungan penyimpanan serta merupakan
jalan bagi penguapan/ hilangnya karbondioksida dan air dari dalam telur.
Gambar 6.
Pembalutan Telur Itik dengan adonan pasta
Dari praktikum yang sudah dilaksanakan didapat lah telur
asin yang bagus dan tidak ada yang rusak. Di bawah ini adalah gambar telur asin
yang telah direbus.
Gambar 7. Telur
asin setelah direbus
Dari gambar di atas dapat kita lihat bahwa kuning telur
(yolk) semakin terlihat kuning pekat dibandingkan telur yang tidak diberi
perlakuan dan hanya direbus begitu saja.
Curing
(Pengawetan Dengan Bahan Kimia)
Curing daging adalah cara mengolah daging dengan
menambahkan beberapa bahan seperti garam (NaCl, Natrium Nitrit, dan Natrium
Nitrat), Gula (Sukrosa atau patihidrolisis) serta bumbu. Curing bertujuan untuk
mempertahankan warna merah pada daging dan untuk medapatkan aroma, tekstur dan
kelezatan yang baik. Selain itu, curing juga untuk mengurangi pengerutan daging
selama diolah dan memperpanjang ,asa simpan produk daging (Chowdrhury, 2006).
Adapun hasil yang diperoleh dari praktikum curing
(pengawetan dengan bahan kimia) tersebut, dijelaskan dalam tabel sebagai
berikut:
Tabel 4. Hasil
Pengamatan Kualitas Warna Daging melalui Pengamatan Curing (Pengawetan dengan
Bahan Kimia)
Perlakuan Daging
|
Perubahan Warna pada Hari Pengamatan ke
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
Tanpa Nitrat
|
Merah
|
Merah
|
Merah
|
Merah
|
Merah pudar
|
Merah Pudar
|
Merah kecoklatan
|
Diberi Nitrat
|
Merah
|
Merah
|
Merah pudar
|
Merah memucat
|
Merah Pucat
|
Merah Pucat
|
Merah Pucat
|
Dari hasil
yang didapat bahwa daging sapi maupun kerbau dapat diawetkan dngan cara apapun,
termasuk dengan curing yang menggunakan, dan dengan proses pembekuan ataupun
proses pemanasan dan dehidrasi pengeringan. Dan menurut Hadiwiyoto (2000) yang
menyatakan bahwa daging dapat diawetkan dengan proses pembekuan, proses format
(pemanasan) dan dehidrasi pengeringan.
Berikut gambar dari pengamatan Curing
(Pengawetan Dengan Bahan Kimia) yaitu sebagai berikut :
Gambar .8
Daging diberi Sodium Nitrat
Gambar di atas adalah daging yang diberi Sodium Nitrat
dan setelah direbus. Memiliki warna yang lebih merah. Daging tersebut memiliki
tekstur baik dan padat.
Gambar 9.
Daging tanpa diberi Sodium Nitrat
Gambar di atas adalah daging yang tanpa diberi Sodium
Nitrat dan setelah direbus. Memiliki warna merah kecokelatan. Daging tersebut
memiliki tekstur lembut dan semakin lunak.
Dari tabel dan gambar di atas dapat disimpulkan bahwa
daging yang diberi Sodium Nitrat akan mempertahankan warna merah pada daging.
Hal ini sesuai dengan pendapat (Winarno, 2002) dan (Septa, 2010) yang
menyatakan bahwa nitrit bereaksi dengan gugus sulfhihidril dan membentuk
senyawa yang tidak dapat dimetabolis oleh mikroba dalam kondisi anaerob. Pada
daging, nitrirt membentuk nitrooksida yang dengan pigmen daging akan membentuk
nitrosomioglobin yang berwarna merah cerah.
Pada praktikum Curing ini
dapt dlihat juga bahwa daging yang dicuring dapat awet dari daging –
daging biasanya yang hanya dibiarkan disuhu kamar dengan keadaan terbuka. Hal
ini sesuai dengan pendapat (Septa, 2010) yang menyatakan bahwa pembentukan
nitrooksida dapat terlalu banyak menggunakan garam nitrit, oleh sebab itu
biasanya digunakan campuran garam nitrat. Garam nitrit akan tereduksi oleh
bakteri nitrat menghasilkan nitrit. Peran garam nitrat sendiri sebagai bahan
pengawet masih dipertanyakan. Berdasarkan literatur penelitian yang didapat
bahwa nitrit dapat mencegah dan memperlambat terjadinya pembusukan.
Pengawetan Dengan Fermentasi
Pengawetan
makanan adalah cara yang digunakan untuk membuat makanan memiliki daya simpan yang lama dan
untuk mempertahankan sifat-sifat fisik dan kimia makanan. Pengawetan makanan
harus memperhatikan jenis bahan makanan yang diawetkan, keadaan bahan makanan,
cara pengawetan dan daya tarik produk pengawetan makanan.
Susu
fermentasi diketahui mengandung bakteri asam laktat yang mampu meningkatkan
kerja enzim galaktosa yang memudahkan pencernaan laktosa dalam usus.
Tabel 5. Pengawetan Dengan Fermentasi
Pengamatan
|
Perlakuan
|
YK I
|
YK II
|
YK III
|
Warna
|
Putih
|
Putih
|
Putih susu
|
Aroma
|
Susu
|
Susu
|
Susu
|
Kekentalan
|
Padat
|
Cair
|
Cair
|
Rasa
|
Pahit
|
Agak Pahit
|
Asam Manis
|
Dari praktikum yang telah dilaksanakan hasil yang didapatkan adalah setelah susu dibiarkan pada suhu
kamar selama 12-14 jam maka diperoleh warna ketiga perlakuan.
Dari data
diatas dapat diketahui bahwa YK-III merupakan hasil fermentasi yang baik jika
dibandingkan dengan susu YK-I dan YK-II, karena mempunyai warna Putih kekuningan, bau asam yang menyengat dan rasa
asam. Hal tersebut karena pada susu YK-III ditambahkan dengan 4 sendok teh
yakult, sehingga bakteri Lactobacillus casei yang ditambah kedalam susu
lebih banyak dibandingkan dengan yakult yang ditambahkan pada YK-1 dan YK-II.
Sehingga pada YK-III akan menghasilkan hasil fermentasi yang lebih baik. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat (Buckle, 2005) yang menyatakan bahwa fermentasi oleh bakteri akan
menghasilkan asam. Produk yang difermentasi akan lebih bagus dibandingkan dengan
produk yang tidak difermentasi.
Susu yang
difermentasi ini akan lebih tahan lama, karena peranan Lactobacillus casei dalam
fermentasi yaitu untuk menekan pertumbuhan baketri phatogen. Hal ini sesuai
dengan pendapat Gaman (2006) yang menyatakan bahwa bakteri Lactobacillus
casei dalam proses fermentasi yaitu menekan pertumbuhan bakteri phatogen,
sehingga produk akan tahan lama, membantu proses pencernaan dalam tubuh dan
akan menghasilkan rasa asam pada produk.
Pengawetan dengan pengemasan
Pengawetan Pangan
ditujukan untuk mencegah terjadinya perubahan-perubahan yang tidak diinginkan
pada produk pangan, yaitu menurunnya nilai gizi dan mutu sensori bahan pangan,
dengan cara mengontrol pertumbuhan mikroorganisme, mengurangi terjadinya perubahan-perubahan
kimia, fisik dan fisiologis alami yang tidak diinginkan, serta mencegah
terjadinya kontaminasi. Ada tiga konsep metoda pengawetan yang umum dijalankan
yaitu Pengawetan secara kimiawi, Pengawetan secara biologis dan Pengawetan
secara fisik.
Adapun hasil yang diperoleh pada praktikum pengawetan
dengan pengemasan terhadap produk hasil ternak yaitu pada pengawetan dengan
pengemasan ini dapat dibahas terperinci yaitu bahwa pengemasan merupakan suatu
cara dalam memberikan kondisi sekeliling yang tepat bagi bahan pangan dan
dengan demikian membutuhkan pemikiran dan perhatian yang lebih besar daripada
pengawasan yang biasanya diketahui. Semua bahan pangan mudah rusak dan hal ini
berarti bahwa setelah suatu jangka waktu penyimpanan tertentu ada kemungkinan
untuk membedakan antara bahan pangan segar dengan bahan pangan yang telah
disimpan selama jangka waktu tertentu. Perubahan yang terjadi merupakan suatu
kerusakan. Meskipun demikian, sebagian bahan pangan mungkin terjadi matang atau
tua setelah dikemas dan memang ada perbaikan dalam waktu singkat tetapi
kemudian diikuti oleh kerusakan (Brody, 2000).
a. Pengemasan dengan pendinginan.
Pengemasan
dengan pendinginan menunjukkan efisiensi suhu yang lebih rendah untuk
pengemasan bahan pakan. Dengan suhu yang rendah, akan lebih menutup pori
pengeluaran air pada permukaan bahan pangan tersebut. Selain itu tentu Aw dalam
bahan pangan akan lebih rendah, yang dapat menimbulkan kerusakan didalam bahan
pangan tersebut. Berikut ini adalah tabel yang menjelaskan hasil pengamatan
pada pengawetan dengan pengemasan dalam pengemasan dengan pendinginan, sebagai
berikut:
Tabel 6. Hasil Pengamatan pada
Pengawetan dengan Pengemasan
Pengamatan
|
Daging
|
|
Pengamatan pada hari ke
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Warna
|
I
|
Merah
hati
|
Merah
hati
|
Merah
pucat
|
Kehitaman
|
Hitam
|
II
|
Merah
hati
|
Merah Hitam
|
Merah Pucat
|
Kehitaman
|
Hitam
|
Tekstur
|
I
|
Normal
|
Keras
|
Keras
|
Lembek
|
Lembek
|
II
|
Normal
|
Keras
|
Karas
|
Kasar
|
Kasar
|
Konsistensi
|
I
|
Padat
|
Kasar
|
Liat
|
Liat
|
Liat
|
II
|
Padat
|
Liat
|
Liat
|
Liat
|
Kasar
|
Kadar air
|
I
|
Normal
|
Banyak
|
Banyak
|
Banyak
|
Berkurang
|
II
|
Normal
|
Sedikit
|
Sedikit
|
Kering
|
Kering
|
Bobot Awal
|
I
|
23gr
|
-
|
-
|
-
|
-
|
II
|
22gr
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Bobot Akhir
|
I
|
-
|
-
|
-
|
-
|
21gr
|
II
|
-
|
-
|
-
|
-
|
9gr
|
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa pada pengemasan
dengan pendinginan pada daging semakin hari mengalami penurunan kualitas.
Seperti pada warna semakin hari semakin hitam begitu juga yang terjadi pada
tekstur, konsistensi, dan kadar air semakin hari juga semakin sedikit. Hal ini
dipengaruhi oleh kondisi dan tempat penyimpanan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Robert (2008), yang menyatakan bahwa penyimpanan daging pada suhu dingin dapat
menyebabkan kerusakan apabila terlalu lama disimpan.
Kondisi pada saat penyimpanan juga sangan berpengaruh,
selain dapat menghambat perubahan juga dapat mempertahankan kualitas produk.
Yang perli diperhatikan yaitu suhu, kelembaban serta kandungan oksigen. Tetapi
lama kelamaan bahan akan mengalami kerusakan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Hadi wiyoto (1997), yang menyatakan bahwa penyimpanan yang baik tidak bisa
menjamin kualitas bahan karena adanya sifat alami bahan yang dapat mengalami
kerusakan walupun sudah ada proses pengawetan yang bertujuan untuk mencegah
proses kerusakan.
Hal ini menandakan bahwa pengemasan
plastic berjalan dengan baik dan didukung oleh penyimpanan pada suhu dingin
refrigerator. Dan cara pengemasan ini sama dengan
pendapat Buckle (2005) yang menyatakan bahwa pengemasan sangat dibutuhkan untuk
daya simpan yang cukup lama, cara yang dijelaskan diatas disebut pengemasan
dengan pendinginan. Oleh sebab itu menurut Adnan (2002) dengan tahap
pendinginan sangat brpengaruh terhadap makanan yaitu : penurunan kimia
mikrobiologi dan biokimia yang berhubungan dengan kelayuan, kerusakan dan
pembusukan pada suhu dibawah 0oc terjadi penurunan Aw. Dari pada perlakuan yang kedua daging
tersebut dibiarkan dalam keadaan terbuka dan dimasukan kedalam refrigerator
akan cepat mengalami perubahan warna daging merah hati menjadi merah
kehitam-hitaman baik pada permukaan dan tngah daging tersebut. Pernyataan ini
sama dengan pendapat Keaginan (2001), yang menyatakan bahwa kualitas daging
pada saat dipotong dan dibiarkan dalam kadaan terbuka maka dalam keadaan waktu
yang singkat pula mikroorganisme akan merusaknya, hal ini disebabkan karena
kurangnya menjaga kebersihan dan cara penyimpanan daging ini juga sangat
mempengaruhi. Sebab perlakuan yang salah akan mngabaikan kebersihan dan membuat
daya simpan daging menjadi relative singkat.
b. Pengemasan Produk Ternak (suhu
kamar)
Dalam pengemasan produk ternak tentu harus memperhatikan
pada syarat pengemasan yang dianjurkan. Dalam penyimpanan pada suhu ruang akan
menunjukkan bahan pangan yang efisien mengalami perubahan terhadap teksturnya.
Berbeda dengan bahan pangan yang disimpan dalam suhu yang rendah. Aktifitas
mikroba perusak akan lebih cepat dan efisien untuk mengubah struktur biologis
maupun mekanis daripada bahan pangan tersebut. Davis (2002), yang menyatakan
bahwa apabila suhu penyimpanan yang cukup rendah dan perubahan kimiawi selama
pembekuan dan penyimpanan beku dapat dipertahankan sampai batas minimum, maka
mutu makanan beku dapat dipertahankan untuk jangka waktu yang cukup lama.
Tabel 7. Pengemasan Produk Kernak Suhu Kamar
Pengamatan
|
Waktu
(jam)
|
Bentuk
penyimpanan
|
Hari
ke
|
1
|
2
|
Warna
|
8
|
Terbuka
|
Krem susu
|
Putih susu
|
Tertutup
|
Putih susu
|
Putih susu
|
16
|
Terbuka
|
Krem susu
|
Putih susu
|
Tertutup
|
Putih susu
|
Putih susu
|
24
|
Terbuka
|
Krem susu
|
Putih susu
|
Tertutup
|
Krem susu
|
Krem susu
|
Bau
|
8
|
Terbuka
|
Busuk
|
Bau basi
|
Tertutup
|
Asam
|
Bau basi
|
16
|
Terbuka
|
Busuk
|
Busuk
|
Tertutup
|
Bau susu basi
|
Bau basi
|
24
|
Terbuka
|
Busuk
|
Busuk
|
Tertutup
|
Busuk
|
Busuk
|
Tekstur
|
8
|
Terbuka
|
Terpisah antara skim dan padatan
|
Terpisah antara skim dan padatan
|
Tertutup
|
Skim mengental
|
Banyak skim
|
16
|
Terbuka
|
Terpisah antara skim dan padatan
|
Terpisah antara skim dan padatan
|
Tertutup
|
Banyak skim mengental
|
Banyak skim kental
|
24
|
Terbuka
|
Terpisah antara skim dan padatan
|
Terpisah antara skim dan padatan
|
Tertutup
|
Lebih mengental
|
Mengental
|
Konsistensi
|
8
|
Terbuka
|
Menggumpal
|
Menggumpal
|
Tertutup
|
Menyebar
|
Menyebar
|
16
|
Terbuka
|
Menggumpal
|
Menyebar
|
Tertutup
|
menggumpal
|
Kental
|
24
|
Terbuka
|
Menggumpal
|
Menggumpal
|
Tertutup
|
Menyebar
|
Menyebar
|
Dari tabel
tersebut dapat diketahui bahwa susu pasteurisasi yang diletakan pada suhu kamar
memiliki warna putih susu. Dari segi bau susu yang tertutup mudah cepat basi
dubandingkan drengan yang terbuka. Susu yang dipasteurisasi akan lebih tahan
lama dibandingkan susu yang segar. Hal ini sesuai dengan pendapat Piliang
(2005), yang menyatakan bahwa cara mempertahankan klualitas susu dari
serangan mikroba yaitu dengan cara dipanaskan atau pasteurisasi pada suhu 72
derjat celcius selama 15 detik atau 65 derajat celcius selam 30 menit.
Tabel 8. Hasil pengamatan pada suhu rendah (refrigerator)
Pengamatan
|
Waktu (jam)
|
Bentuk penyimpanan
|
Hari ke
|
1
|
2
|
Warna
|
8
|
Tebuka
|
Putih susu
|
Putih
susu
|
Tertutup
|
Putih susu
|
Putih
susu
|
16
|
Tebuka
|
Putih
susu
|
Putih
susu
|
Tertutup
|
Putih
susu
|
Krem
susu
|
24
|
Terbuka
|
Krem
susu
|
Krem susu
|
Tertutup
|
Krem
susu
|
Krem susu
|
Bau
|
8
|
Tebuka
|
Bau susu
|
Bau susu
|
Tertutup
|
Sedikit amis
|
Amis
|
16
|
Tebuka
|
Bau susu
|
Bau susu
|
Tertutup
|
Bau susu
|
Sedikit amis
|
24
|
Terbuka
|
Bau amis
|
Amis susu
|
Tertutup
|
Bau susu
|
Amis susu
|
Tekstur
|
8
|
Tebuka
|
Cair
|
Cair
|
Tertutup
|
Sedikit padat
|
Cair
|
16
|
Tebuka
|
Cair
|
Padat
|
Tertutup
|
padat
|
Cair
|
24
|
Tebuka
|
Cair
|
Padat
|
Tertutup
|
Padat
|
Cair
|
Konsistensi
|
8
|
Terbuka
|
Ada batas
|
Lebih banyak
|
Tertutup
|
Sedikit
|
Banyak
|
16
|
Terbuka
|
Sedikit
|
Banyak
|
Tertutup
|
Sedikit
|
Banyak
|
24
|
Terbuka
|
Sedikit
|
Banyak
|
Tertutup
|
Sedikit
|
Banyak
|
Dari hasil
pengamatan menggunakan susu yang akan dipasteurisasi dan disimpan didalam
keadaan suhu kamar dan suhu rendah (refrigerator) dan diamati selama 2 hari
dalam waktu 16-24 jam, dihasilkan pada hari pertama susu yang disimpan pada
suhu kamar dan refrigerator yang dalam keadaan terbuka warna putih susu,
sedangkan hari kedua pada suhu kamar, susu tersebut berwarna putih kekuningan
sedangkan pada suhu rendah warna masih tetap putih susu, dan susu yang dalam
keadaan tertutup baik hari 1 maupun hari 2 warna tetap sama yaitu putih susu,
sedangkan hari ke2 susu yang dalam keadaan trbuka dan diletakan pada suhu kamar
baunya sedikit asam, pada hari ke2 bau tambah asam, sedangkan yang diletakan dalam
refrigerator hari pertama bau masih khas susu, dan hari kedua baunya agak asam
dan tekstur maupun konsistensi masih dalam keadaan halus dan terjadi
penggumpalan dibagian atas, dan keadaan tertutup suhu tersebut menjadi kental. Dan
menurut pendapat Lawrance dan Resister
(1995) menyatakan bahwa susu akan berubah kental atau menggumpal dan keruh
disebabkan karma adanya aktivitas bakteri, sehingga dapat mnyebabkan perubahan
warna susu, misalnya menyebabkan susu kental menjadi kuning-kekuningan.
Pengawetan dengan Pembekuan
Pembekuan
adalah penyimpanan bahan pangan dalam keadaan beku yaitu pada suhu 12 sampai
-24 0 C. Pembekuan cepat (quick freezing) di lakukan pada suhu -24
sampai -40 0 C. Pendinginan biasanya dapat mengawetkan bahan pangan
selama beberapa hari atau minggu tergantung pada macam bahan panganya,
sedangkan pembekuan dapat mengawetkan bahan pangan untuk beberapa bulan atau
kadang beberapa tahun. Perbedaan lain antara pendinginan dan pembekuan adalah
dalam hal pengaruhnya terhadap keaktifan mikroorganisme di dalam bahan pangan.
Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan pangan tidak dapat membunuh bakteri,
sehingga jika bahan pangan beku misalnya di keluarkan dari penyimpanan dan di
biarkan mencair kembali (thawing), pertumbuhan bakteri pembusuk kemudian
berjalan cepat kembali. Pendinginan dan pembekuan masing-masing juga berbeda
pengaruhnya terhadap rasa, tekstur, nilai gizi, dan sifat-sifat lainya.
Beberapa bahan pangan menjadi rusak pada suhu penyimpangan yang terlalu rendah.
Tabel 9. Hasil Perhitungan Dripp dari
Karkas Yang Diamati
Irisan/bagian Karkas Ayam
|
Temperatur Thawing
|
Bobot Irisan Karkas (gr)
|
% Dripp
|
Awal
|
Akhir
|
Sayap
|
Kiri
|
Suhu
Kamar
|
75,98
|
74,552
|
1,88
|
Kanan
|
Refrigerator
|
77,327
|
76,98
|
0,44
|
Punggung
|
Kiri
|
Suhu Kamar
|
241,43
|
240,972
|
0,189
|
Kanan
|
Refrigerator
|
176,42
|
175,32
|
0,623
|
Dada
|
Kiri
|
Suhu
Kamar
|
132,88
|
131,422
|
1,097
|
Kanan
|
Refrigerator
|
69,73
|
68,989
|
1,06
|
Paha
Atas
|
Kiri
|
Suhu
Kamar
|
124,440
|
123,51
|
0,747
|
Kanan
|
Refrigerator
|
80,24
|
79,33
|
0,0011
|
Paha
Bawah
|
Kiri
|
Suhu
Kamar
|
90,917
|
89,978
|
1,032
|
Kanan
|
Refrigerator
|
79,38
|
78,65
|
0,919
|
Dari
praktikum diatas dapat diketahui bahwa semua karkas yang sudah dipotong dan
dibungkus dalam plastic dan dimasukan kedalam frezer slama 48 jam, kemudian
semua bagian karkas ayam di thawing, dalam penthawingan diberi 2 perlakuan,
perlakuan irisan karkas ayam sebelah kiri di thawing pada suhu kamar, sedangkan
perlakuan 2 bagian karkas ayam sebelah kanan di thawing pada refrigerator,
kemudian ditunggu selama 2 jam thawing pada suhu kamar sampai irisan lunak. Dan
setelah melakukan penimbangan dapat dilihat bahwa irisan karkas yang di thawing
mengalami penurunan bobot. Hal ini disebabkan karena kristal es yang keluar
dari irisan karkas (daging), sehingga menimbulkan perubahan baik fisik maupun
kimiawi pada sel-sel daging tidak semua air ataupun kristal es yang mencair
dapat diikat dan diserap kembali oleh sel-sel jaringan produk, dan hal ini
ssuai dengan pendapat Adinan (2005) yang menyatakan bahwa pada suhu dibawah 0oc
air akan membeku dan terpisah dari larutan dan membentuk es, yang mirip dengan
air yang diuapkan pada proses pengeringan atau selama penurunan Aw.
Dan
menurut Haris dan kemas (2001) menyatakan bahwa pada saat produk dicairkan
kembali tidak semua air dari kristal akan diserap kembali oleh bahan pangan
yang diawetkan maka air yang diserap akan keluar.
Pengawetan
dengan Pengeringan
Adapun hasil yang diperoleh pada praktikum pengawetan
dengan pengeringan adalah bahwa proses penurunan kadar air oleh terhentinya
aktifitas mikroba (Aw) adalah bahan pangan, seperti: dendeng akan lebih awet
dengan suhu 60 oc selama 36 jam dibandingkan dengan suhu 40 oc
selama 72 jam. Hal itu disebabkan oleh mikroba dengan pemanasan pada suhu besar
akan lebih cepat terdegradasi dan kadar kerusakan lebih minimum. Pernyataan ini
sejalan dengan pendapat Hadiwiyoto (2003), yang menyatakan bahwa penyimpanan
bahan makanan yang cukup lama selama suhu 60 oc dan 40 oc
akan menyebabkan daging dehidrasi dalam pengeringan, daging merupakan bahan
pangan yang sangat mudah rusak, karena daging memiliki senyawa biologis yang
masih aktif.
Berikut ini adalah tabel hasil pengamatan pada pengawetan
dengan pengeringan (pembuat dendeng) yaitu:
Perlakuan
Pengeringan
|
Kode Sampel
|
Berat (gram)
|
Kadar Air %
|
W
|
W1
|
W2
|
Suhu 60oc selama 36 jam
|
D1
|
50,770
|
52,775
|
52,4
|
23,43
|
D2
|
50,191
|
52,201
|
51,92
|
16,16
|
Rataan : 19,79 %
|
Suhu 40oc selama 72 jam
|
D3
|
50
|
52,12
|
51,87
|
13,36
|
D4
|
50,1
|
52,1
|
51,89
|
11,73
|
Rataan: 12,545 %
|
Dari
praktikum yang dilaksanakan tentang pengawetan dengan pengeringan, dengan 2
perlakuan yaitu memasuki dndeng kedalam oven dengan pengeringan selama 36
jam dengan suhu 60oc dan
kedua, dendeng dimasukan kedalam oven selama 72 jam dngan suhu 40oc.
Dan Saraswati (2004) menyatakan bahwa ada beberapa contoh pengawetan daging,
dan 2 cara ini merupakan pengawetan dengan penggunaan suhu tinggi.
Banyak
factor yang mempengarihi proses pengawetan dengan pengeringan yang menggunakan
daging tersebut yaitu suhu dan kontaminasi. Dan menurut Mazarnis (2002)
menyatakan bahwa factor utama yang mempengaruhi proses pengeringan adalah
secara fisik dan kimiawi, pengaturan geometri produk sifat dari lingkungan alat
pngeringan dan suhu pengeringan, sehingga pendapat dari Moctadi (2001) yang
menyatakan bahwa nilai gizi protein yang tinggi pada daging dapat dipertahankan
tanpa menimbulkan pengaruh atas keasaman untuk dikonsumsi.
Supaya
daging tersebut tidak membahayakan manusia dalam mengkonsumsi perlu
diperhatikan mikroorganisme yang terdapat dalam daging tersebut apabila
mikroorganisme yang menekan. Menurut Frazieri (2001) sependapat dengan hal ini
karena dia menyatakan bahwa mikroorganisme yang terdapat dalam daging tersebut,
apalagi mikroorganisme yang merugikan, dan khamir, jamur serta bakteri yang
dapat merugikan dapat membahayakan manusia yang mengkonsumsinya.
Elvina
(2002) menyatakan bahwa dendng sapi dapat tahan lam maka harus disimpan dalam
kondisi rapat-rapat dan tidak lemah. Dengan hasil yang didapat dalam penentuan
kadar air bahwa dendeng yang dikeringkan dalam oven selama 72 jam dngan suhu 40oc
lebih tinggi dari pada dendeng yang dikeringkan dalam oven selama 36 jam dengan
suhu 60oc. hal ini sama dengan pendapat Winarno (2000) yang
menyatakan bahwa kadar air berkisar 60-70% dan apabila daging tidak mempunyai
kadar air terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah yaitu kisarannya 15-50% maka
daging tersebut dapat tahan lama selama penyimpanan. Dan menurut Saputan (2000)
dengan hasil yang sudah didapat kemarin, bahwa kadar air pada dendeng sapi yang
digiling lebih tinggi dari dendeng sapi yang diiris, hal ini karena perlakuan
fisik dalam pembuatan daging giling menyebabkan air lepas sekaligus dari proses
kering penyerapan bahan kering lebih tinggi disbanding daging iris.
Penenentuan Kadar Air Dengan Infrared Digital Moisture Balance
Prinsip penentuan kadar air yaitu mengukur kadar air
dengan menguapkan air yang ada dalam bahan pangan dengan pemanasan (lampu infra
merah). Kadar air bahan pangan langsung ditunjukan dalam persen pada skala
penunjuk kadar air.
Sebelum dilakukan pemanasan daging sapi terlebih dahulu
di sayat tipis dengan ukuran kira – kira 2 cm. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Buckle (2004), yang menyatakan bahwa untuk mempengaruhi tingkat kadar
air yang perlu untuk mempunyai rasio permukaan volume yang tinggi dalam daging
oleh karena itu digunakan daging yang sudah dipotong-potong halus.
Dari praktikum yang telah dilaksanakan didapatkan hasil
sebagai berikut kadar air 49,9 % dengan waktu pemanasan 15 menit dan suhu 105oC.
Hadiwiyato,S (2003), yang menyatakan bahwa penentuan
kadar air bahan pangan akan efisien dan praktis dengan menggunakan media infra
merah dengan kualitas tentu yang cukup efisien.
Gambar . Daging yang dipanaskan dengan Infraren Digital
Moisture Balance
Air yang diikat dalam daging dapt dibagi dalam 3 komponen
yaitu air yang terikat secara kimiawi olwh protein daging sebesar 4-5 % yang
,merupakan lapisan monomolekuler peartama. Lapisan kedua adalah air yang
terikat agak laemah ini molekul air terhadap kelompok hidrofilik yakni sebesar
4 %. Lapisan ketiga merupakan air bebas yang terdapat diantara komponen
molekul-molekul protein yanag memiliki jumlah terbanyak. Air bebas terletak
dibagian luar sehingga mudah lepas, sedangkan air terikat adalah kebalikan nya
dimanan air sulit dilepaskan karena kuat pada rantai protein, dan air dalam
bentuk tidak tetap merupakan air labil sehingga mudah lepas bila terjadi
perubahan ini sesuai dengan pendap (Purnomo, 2004), yang menyatakan bahwa air
bebas dengan mudah hilang bila terjadi pengeringan dan penguapan, sedangkan air
terikat sulit dibebaskan denga cara tersebut.
Winarno, (2003), yang menyatakan bahwa daging memiliki
komposisi yang terdiri dari 75 5 air, 18 % protein, 4 % protein yang dapat
larut (termasuk mineral) dan 3 5 lemak. Diperoleh hasil kadar air pada
percobaan ini adalah tetap normal.
PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum Dasar
Tekhnologi Hasil Ternak adalah dengan adanya melakukan pengawaetan dan
pengolahan hasil dari ternaka kita bisa merubah bentuk suatu makan hasil ternak
baik secara fisik maupaun secara biologis dan merubah rasa dari pengolahan yang
dilakukan. Sehingga bisa mengemas dan menjadiakan bahan makanan menjadi awet
untuk simpan dengan mengadakan pengolahan. Bahan pangan
merupakan materi yang mudah rusak. Dengan sifat yang mudah rusak, maka
bahan pangan mempunyai masa simpan yang terbatas.
Bermacam-macam
teknik pengawetan dan pengolahan bahan pangan dilakukan untuk memperpanjang
komoditas hasil pertanian di antaranya pengeringan, pembekuan, penggunaan bahan
kimia dan iradiasi. Tujuan pengawetan pangan adalah
untuk menghambat atau mencegah terjadinya kerusakan pangan, mempertahankan
kualitas bahan, menghindarkan terjadinya keracunan dan mempermudah penanganan
serta penyimpanan. Bahan pangan yang awet mempunyai nilai yang lebih
tinggi karena terjadinya kerusakan dapat diperkecil. Namun
demikian metode pengawetan tidak selalu dapat mempertahankan kualitas asal
bahan pangan atau kandungan gizi dari komoditas yang diawetkan.
Saran
Sebaiknya
bahan-bahan yang dibutuhkan dalam praktikum dapat disediakan, sehingga apabila
melakukan percobaan tidak ada kendala dalam melaksanakan praktikum dan alat
yang dibutuhakan agar lebih lengkap lagi untuk kelancaran praktikum ini, dan juga
untuk praktikum selanjutnya lebih diperhatikan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2007. Freezer Dryer. http://www.Ilshine
Urope . com/ products/freezer dryer.html.
Anonymous.2006. Hasil-hasil Olahan Dari
Ternak. Penerbit Agritech, Yogyakarta.
Antonius Riyanto.2001. Kandungan
Energi Dalam Telur. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Bambang, S .2007. Pengawetan Bahan Pangan
Hasil Ternak. PT Mutiara Sumber Widya Penabur Benih Kecerdasan.
Buckle.2005. Penambahan Garam
Mempengaruhi Aktivitas Air Dalam Pangan. Penerbit. GITA. PT Gallus
Indonesia Utama.
Desrosier M.W.2007. Technology,
Elements Of Technology. The Avi Publishing Company. Inc Westport
Connecticut.
Frazier W and DC Westhoff.1976. Food
Microbiology. Third Edition MC Graw Hill Book Co, New York.
Gaman, MP. 1992. Ilmu Pangan.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Hamid, A.2008. Pit dan Pembususkan Daging. Fesis
Fkit. IPB, Bogor.
Handiwiyoto, Soeswodo.2003. Hasil-hasil
Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur. Liberty ,Yogyakarta.
Hadiwiyoto, S. 1983. Hasil-hasil Olahan. Liberty. Yogyakarta
Haryoto.2002. Evaluasi
Kerusakan-kerusakan Pada Telur Unggas. Penerbit Liberty ,Yogyakarta.
Lawrie .2007. Berbagi Tehnik Dalam
Proses Pengeringan Bahan Pangan. Penerbit PT Gremedia Jakarta.
Lawrie, AR. 1995. Ilmu Daging.
Universitas Indonesia. Jakarta
Marhijanto.2006. Kamus Poultry dan Pengawetannya.
Penerbit ITB, Bandung.
Murtidjo, BA. 2007. Pedoman Beternak Ayam Broiler.
Kanisius. Jakarta
Muctadi, P.2005. Studies On, and
Indonesia Traditional Product. Nutrien and Effect by Biology. Forum
Pascasarjana 2(10) : 1-10. Fakultas Peternakan Unibraw, Malang.
Murtidjo .2006. Tehnik Dalam Penambahan Garam
Dalam Proses Pengawetan. Penerbit. Universitas Indonesia Press.
Petrucci.
1993. Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern. Erlangga. Jakarta
Pilliang, GW. 1995. Pengelolaan
Hasil Ternak. IPB. Bandung
Purnomo. 1999. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia. Jakarta
Rasyaf Muh.2003. Egg Quality
Current Problems and Evaluation Of Egg Quality. Penerbit Fakultas
Peternakan Unibraw, Malang.
Rammanof. 2003. Mendeteksi
Ketahahan Kualitas Telur saat Pengawetan. Penerbit Fakultas Peternakan
Brawijaya, Malang.
Repandi. 2003. Pengolahan Hasil Ternak. Agromedia Pustaka. Jakarta
Robert.2009. Evaluasi Gizi dan
Kerusakan Bahan Pangan. Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Soeparno.2004. Ilmu dan Teknologi
Daging. Gadjah Mada University ,Yogyakarta.
Syarif. 2005. Teknologi Penyimpanan Daging. 18 Mei 2009
Wianrno.2004. Pencegahan
Kerusakan Bahan Pangan. Pustaka Media, Yoyakarta.
Winarno F,G.2004. Kimia Pangan
dan Gizi. PT Gramedia : Jakarta. Pangan Gizi Teknologi dan Konsumen. PT
Gramedia : Jakarta.
Wianrno F,G. S Fardias dan D
Fardias.2004. Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia : Jakarta.
Yuanita,
T. 2001. Penyimpanan Pengolahan dan Pengawetan Produk Ternak.
LAMPIRAN
Pengawetan dengan penggaraman
Penyusutan telur pada penggaraman basah
1.
Penyusutan = Bobot awal – bobot akhir
= 67,238 –
66,6
= 0,638
2.
Penyusutan = Bobot awal – bobot akhir
= 61,273 –
60,2
= 1,073
3.
Penyusutan = Bobot awal – bobot akhir
= 64,598 –
63,1
= 1,498
Berat Jenis Pada Penggaraman Basah
1.
Berat Jenis
2.
Berat Jenis
3.
Berat Jenis
Penyusutan telur pada penggaraman Kering
1.
Penyusutan = Bobot awal – bobot akhir
= 58,344 –
57,89
= 0,541
2.
Penyusutan = Bobot awal – bobot akhir
= 58,344 –
57,89
= 0,454
3.
Penyusutan = Bobot awal – bobot akhir
= 76,050 –
75,10
= 0,95
Berat Jenis Pada Penggaraman Kering
1.
Berat Jenis
2.
Berat Jenis
3.
Berat Jenis
Perhitungan Persentase Dripp (%)
Pada Pengawetan dengan Pembekuan
% dripp = Bobot sebelum dibekukan – Bobot setelah di
thawing x 100 %
Bobot sebelum dibekukan
%drip pada sayap
Kiri%
Kanan
%drip punggung
Kiri%
Kanan
%drip dada
Kiri%
Kanan
%drip paha atas
Kiri%
Kanan
%drip paha bawah
Kiri%
Kanan
Pengawetan Dengan Pengeringan
Kadar air Bahan = 100
(W1 – W2)
(W2 – W )
D1%
D2
D1%
D2