Senin, 27 Juli 2015

LAPORAN PRAKTKUM INTEGRASI PETERNAKAN

PENDAHULUAN

Latar belakang

Integrasi ternak dalam usaha tani adalah menempatkan dan mengusahakan sejumlah ternak sapi di areal tanaman tanpa mengurangi aktivitas dan produktivitas tanaman bahkan keberadaan ternak sapi ini dapat meningkatkan produktivitas tanaman sekaligus meningkatkan produksi sapi itu sendiri.Ternak sapi yang diintegrasikan dengan tanaman mampu memanfaatkan produk ikutan dan produk samping tanaman (sisa-sisa hasil tanaman) untuk pakan ternak dan sebaliknya ternak sapi dapat menyediakan bahan baku pupuk organik sebagai sumber hara yang dibutuhkan tanaman.Sejalan dengan program pemerintah dalam peningkatan populasi dan produksi ternak sapi yaitu melalui program-program bantuan pengadaan bibit sapi maka hal ini sangat baik untuk penerapan integrasi ternak sapi dalam usaha tani tanaman.Dalam tulisan ini akan diuraikan integrasi ternak sapi dengan tanaman pangan meliputi tanaman padi.
Berkurangnya lahan mengakibatkan ketersediaan sumber pakan untuk ternak berkurang. Integrasi ternak pada perkebunan menjadi trend masa kini (Dwatmadji et al., 2004). Sampai saat ini Indonesia adalah produsen sawit terbesar di dunia dengan areal 6,78 juta hektare dan produksi 17,37 juta ton/tahun. Ternak sapi merupakan salah satu komoditas ternak penghasil daging terbanyak dan tergolong dalam jenis ruminansia yang mampu mengkonsumsikan pakan berserat tinggi seperti hijauan dan konsentrat dalam jumlah banyak.
Pola integrasi antara tanaman dan ternak atau yang sering disebut dengan pertanian terpadu, adalah memadukan antara kegiatan peternakan dan pertanian.Pola ini sangatlah menunjang dalam penyediaan pupuk kandang di lahan pertanian, sehingga pola ini sering disebut pola peternakan tanpa limbah karena limbah peternakan digunakan untuk pupuk, dan limbah pertanian digunakan untuk pakan ternak.Integrasi hewan ternak dan tanaman dimaksudkan untuk memperoleh hasil usaha yang optimal, dan dalam rangka memperbaiki kondisi kesuburan tanah.Interaksi antara ternak dan tanaman haruslah saling melengkapi, mendukung dan saling menguntungkan, sehingga dapat mendorong peningkatan efisiensi produksi dan meningkatkan keuntungan hasil usaha taninya.
Pengembangan ternak sapi dalam 5 (lima) tahun ke depan (2010-2014) akan tetap diarahkan untuk pencapaian Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDS/K), dimana di dalamnya juga menyangkut aspek pakan. Konsep integrasi ternak dalam usahatani tanaman baik itu tanaman perkebunan, pangan atau hortikultura adalah menempatkan dan mengusahakan sejumlah ternak, tanpa mengurangi aktifitas dan produktifitas tanaman. Bahkan keberadaan ternak ini harus dapat meningkatkan produktifitas tanaman sekaligus dengan produksi ternaknya. Integrasi ternak bertujuan agar terjadi senergi saling menguntungkan (mutualism sinergicity) dan pada akhirnya dapat membantu mengurangi biaya produksi.
Sistem integrasi padi-ternak merupakan salah satu upaya meningkatkan pendapatan petani, melalui peningkatan produksi padi yang diintegrasikan secara sinergis dengan pemeliharaan ternak sapi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan usahatani sapi yang diintegrasikan dengan tanaman padi berbasis inovasi teknologi terhadap pendapatan petani. Pola integrasinya adalah memanfaatkan jerami padi untuk pakan sapi dan kotoran sapi untuk pupuk tanaman.
Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan Integrasi Ternak dan Tanaman ini disusun untuk mengetahui hasil dari semua kegiatan yang telah dilaksanakan dan untuk mengetahui  sampai sejauh mana keberhasilan dan kekurangan-kekurangan dalam pelaksanaan kegiatan sehingga dapat dievaluasi.
Agar proses pemanfaatan tersebut dapat terjadi secara efektif dan efisien, maka sebaiknya produksi  pertanian terpadu berada dalam suatu kawasan.  Pada kawasan tersebut sebaiknya terdapat sektor produksi tanaman, peternakan  maupun perikanan. Keberadaan sektor-sektor ini akan mengakibatkan kawasan tersebut memiliki ekosistem yang lengkap dan seluruh komponen  produksi tidak akan menjadi limbah karena pasti akan dimanfaatkan oleh komponen lainnya.  Disamping akan terjadi peningkatan hasil produksi dan penekanan biaya produksi sehingga efektivitas dan efisiensi produksi akan tercapai.


Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk menegtahui peranan usaha tani sapi terintegrasikan dengan tanaman padi berbasis inovasi teknologi terhadapa pendapatan petani, dengan cara memanfaatkan  limbahbaik itu limbah ternak, maupun limbah hasil pertanian.
Manfaat dari praktikum ini yaitu kita dapat mengetahui hasil dari diintegrasikan nya antara peternakan sapi potong dengan usaha tani berupa pertanian padi, dengan berbasis teknologi pemanfaatn limbah ternak dan limbah hasil pertanian.



Waktu dan Tempat
            Adapun raktikum Integrasi Peternakan ini dilaksanakan pada pada hari Minggu,20 Oktober 2013, Pukul 09.00 WIB di Desa Pudak dengan kelompok tani Usaha Sepakat.
Materi
Adapun materi yang digunakan pada praktikum ini yaitu buku, pena, kamera.
Metoda
Cara praktikum integrasi peternakan ini adalah para praktikan mengamati usaha petani, kemudian dicatat dan dibandingkan dengan materi yang telah diberiikan oleh dosen.



PEMBAHASAN

Pembangunan peternakan sebagai bagian integral dari pembangunan pertanian sebagaimana yang tercantum dalam arah dan kebijakan pembangunan nasional yang pada hakekatnya bertujuan untuk mencapai produksi, memperluas lapangan kerja, menunjang sektor industri dan ekspor, mencapai pendapatan dan gizi masyarakat yang pada akhirnya secara keseluruhan dapat diharapkan mencapai kesejahteraan masyarakat.
Program keterpaduan antara kelapa sawit dan ternak ruminansia harus didukung dengan penerapan teknologi yang tepat/sesuai, sehingga produksi yang dihasilkan dapat lebih efisien, berdaya saing dan berkelanjutan. Pada dasarnya sistem keterpaduan ini menjadi daur ulang sumberdaya yang tersedia secara optimal (Wijono et al.,2003).
Menurut Kusnadi dan Prawiradiputra (1993) integrasi ternak dan tanaman dapat meningkatkan pendapatan antara 14,9-129,4%. Dengan demikian pola integrasi layak dikembangkan karena meningkatkan pendapatan petani, dan menekan biaya produksi dibandingkan dengan kegiatan usahatani yang selama ini dilakukan oleh petani
            Pola integrasi sapi dan padi dapat berkembang dengan baik dan efisien karena adanya aliran sumberdaya yang tidak terputus yang bersumber dari limbah padi sebagai pakan ternak dan kompos setelah di daur ulang, sehingga terjalin mata rantai kebersihan dan kelestarian lingkungan. Ternyata pendekatan cara ini sangat dianjurkan oleh para ahli ekonomi, lingkungan, pertanian dan peternakan karena akan diperoleh produk yang lebih murah, berkualitas dan terjamin keberlanjutannya.
Semakin meningkatnya konsumsi daging oleh masyarakat harus diimbangi dengan ketersedian daging dengan harga yang terjangkau. Masalah yang dihadapi saat ini adalah ketersediaan daging sedikit sehingga harga melambung tinggi, dengan demikian tidak semua konsumen mampu membeli. Tingginya harga disebabkan karena ketersediaan daging yang sedikit serta daging tersebut masih diimpor. Jika daging disuplai dari dalam negeri maka harga daging tersebut akan lebih murah sehingga seluruh lapisan masyarakat mampu membelinya. Masalah tersebut dapat diatasi dengan meningkatkan populasi ternak dalam negeri sehingga mampu memasok kebutuhan akan daging oleh masyarakat.
Adapun praktikum yang sudah dilaksanakan di Desa Pudak adalah melihat potensi persawahan yang ada di Desa tersebut untuk proses Integrasi anatara padi dan Sapi. Pada praktikum tersebut juga melakukan penanaman HMT (Hijauan Makan Ternak) yang di lakukan bersama-sama dengan dosen pembimbing.


Gambar 1. Proses Pengukuran Jarak Penanaman HMT

Gambar di atas menunjukan pengukuran jarak tanam HMT pada lahan yang sudah di sediakan oleh pihak Desa Pudak.
Lahan pertanian yang makin berkurang akibat beralih fungsi menjadi pemukiman, misalnya, menyebabkan petani-peternak harus mempunyai alternatif usaha untuk mencapai pendapatan, antara lain dengan mengatur pola tanam secara bergantian maupun campuran. Alternatif lain adalah mencapai usaha ternak sapi melalui integrasi sapi-tanaman pangan atau tanaman perkebunan (kelapa). Imam (2003) menyatakan, pengembangan peternakan dapat melalui diversifikasi ternak sapi dengan lahan persawahan, perkebunan, dan tambak. Suwandi (2005) yang meneliti penerapan pola usaha tani padi sawahsapi potong melaporkan sistem ini dapat mencapai produksi dan keuntungan petani berlahan sempit.
Selain sebagai sumber daging, ternak sapi berfungsi sebagai penghasil pupuk atau kompos untuk mencapai produksi tanaman pangan. Kotoran ternak dapat pula digunakan sebagai sumber biogas (Hasnudi, 1991). Hal ini mengindikasikan, integrasi sapi-tanaman dapat memberi manfaat yang besar bagi ternak dan tanaman. Menurut Bamualim et al., (2004), keuntungan langsung integrasi ternak sapi-tanaman  adalah meningkatnya pendapatan petani-peternak dari hasil penjualan sapi dan hasil tanaman. Keuntungan tidak langsung adalah membaiknya kualitas tanah akibat pemberian pupuk kandang.
Menurut Kariyasa dan Kasryno (2004), usaha ternak sapi akan efisien jika manajemen pemeliharaan diintegrasikan dengan tanaman sebagai sumber pakan bagi ternak itu sendiri. Ternak sapi menghasilkan pupuk untuk mencapai produksi tanaman, sedangkan tanaman dapat menyediakan pakan hijauan bagi ternak.

Gambar 2. Proses Penanaman HMT

Gambar di atas menunjukan penanaman HMT yang dilakukan oleh mahasiswa dan dosen pembimbing.


KESIMPULAN

Usahatani integrasi ternak sapi dengan padi merupakan usahatani yang efisien dan dinilai efektif untuk perbaikan pendapatan usahatani rakyat dengan pemilikan lahan sempit di pedesaan.
Sistem integrasi padi-sapi memberikan keuntungan kepada petani karena:
1) Pakan sapi yang selama ini belum optimal digunakan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik untuk meningkatkan kesuburan tanah dan atau dijual sebagai sumber pendapatan, 2) limbah pertanian (jerami padi dan dedak) yang tersedia dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan yang berkualitas sehingga mengurangi biaya penyediaan pakan. Pengembangan sistem usahatani integrasi padi-ternak perlu dilakukan melalui pendekatan kelompok. Cara ini dapat memudahkan pemerintah dalam memberikan penyuluhan dan pelatihan selain mengintensifkan komunikasi di antara anggota kelompok
maupun antara anggota kelompok dan pemerinta


  
DAFTAR PUSTAKA



Anonimous. 2010. Pemanfaatan Limbah Sawit Sebagai Pakan Ternak Sapi. Kampung Adat Paser. Kalimantan Timur.

Balai Penelitian Teknologi Pertanian Jawa Barat. 2001. Penelitian sistem usahatani integrasi tanaman-hewan pada lahan sawah irigasi. Laporan Tahunan 2001.

Balai Penelitian Teknologi Pertanian Jawa Barat. 2001. Pupuk kompos untuk meningkatkan produksi padi sawah. Lembar Informasi Pertanian.

BPS Cianjur. 2008. Kabupaten Cianjur dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Cianjur.

Diperta Cianjur. 2008. Laporan Tahunan 2007. Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur. 196

Suryana, A. 2007b. Arah kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dalam pemasyarakatan inovasi teknologi pertanian. hlm. 5−12. Prosiding Seminar Nasional dan Ekspose Percepatan Inovasi Teknologi Spesifik Lokasi Mendukung Kemandirian Masyarakat Kampung di Papua, Jayapura, 5−6 Juni 2007. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Papua,

Suwandi. 2005. Keberlanjutan Usaha Tani Terpadu Pola Padi Sawah-Sapi Potong Terpadu di Kabupaten Sragen: Pendekatan RAP-CLS. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

LAPORAN SEMESTER TEKHNOLOGI HASIL TERNAK

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Agar manusia dapat melangsungkan kehidupannya maka harus memenuhi kebutuhan akan makanan (pangan). Kebutuhan akan makanan itu sendiri merupakan sesuatu yang fitri (alamiah) adanya, yakni tidak perlu diajarkan. Bayi yang baru dilahirkan secara otomatis membutuhkan makanan (air susu). Demikian halnya dengan organisma atau makhluk hidup lainnya. Cara memenuhi kebutuhan akan makanan tersebut mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia itu sendiri. Sebagai contoh adalah pada zaman dahulu, manusia membutuhkan makanan (pangan) dengan cara berburu, kemudian melakukan budidaya dengan menggunakan teknologi dari yang paling primitif (batu) sampai moderen seperti sekarang ini.
Penemuan dan penggunaan teknologi yang cukup sepektakuler pada masa lalu adalah adanya teknologi api. Api digunakan untuk membakar bahan makanan dan menjadi lebih empuk, enak, dan harum daripada tidak dibakar. Dari teknologi api ini pula berkembang teknologi-teknologi lain yang mengiringinya. Api tidak lagi hanya untuk membakar, tetapi untuk merebus yang tentu saja memerlukan alat perebusan. Dari api pula ditemukan teknologi pengawetan bahan makanan dengan cara pengasapan yang kelak di kemudian hari menjadi begitu penting peranannya dalam teknologi pengawetan bahan pangan. Penggunaan teknologi api jugalah yang membedakan manusia dengan jenis makhluk hidup lainnya secara nyata.
Teknologi hasil ternak lebih menekankan pada aspek kesegaran, penampakan, stabilitas, penghindaran dari kontaminasi, pencegahan kebusukan, dan pengembangan produk baru dari komponen-komponen hasil ternak. Berkaitan dengan hal tersebut juga penting bagaimana cara mempertahankan serta meningkatkan cita rasa dan mutu gizi melalui berbagai cara proses dan pengolahan. Teknologi tersebut diterapkan pada empat komoditas hasil ternak yaitu Daging, Kulit, Telur dan Susu.
Telur adalah salah satu bahan makanan hewani yang dikonsumsi selain daging, ikan dan susu. Umumnya telur yang dikonsumsi berasal dari jenis-jenis burung, seperti ayam, bebek, dan angsa, akan tetapi telur-telur yang lebih kecil seperti telur ikan kadang juga digunakan sebagai campuran dalam hidangan (kaviar). Selain itu dikonsumsi pula juga telur yang berukuran besar seperti telur burung unta (Kasuari) ataupun sedang, misalnya telur penyu. Sebagian besar produk telur ayam ditujukan untuk dikonsumsi orang tidak disterilkan, mengingat ayam petelur yang menghasilkannya tidak didampingi oleh ayam pejantan. Telur yang disterilkan dapat pula dipesan dan dimakan sebagaimana telur-telur yang tidak disterilkan, dengan sedikit perbedaan kandungan nutrisi. Telur yang disterilkan tidak akan mengandung embrio yang telah berkembang, sebagaimana lemari pendingin mencegah pertumbuhan sel-sel dalam telur.
Telur adalah sesuatu yang dihasilkan oleh induk hewan untuk melanjutkankelangsungan hidup populasinya, jika dibuahi pejantan sebgai media dan bekaluntuk membesarkan calon anak dan jika dapat dikonsumsi oleh manusia.
Telur merupakan bahan pangan yang padat gizi dan enak rasanya, mudahdiolah serta harganya relatif murah jika dibandingkan dengan sumber proteinhewani lainnya. Bagi anak-anak, remaja, maupun dewasa, telor merupakan makanan ideal dan sangat mudah didapatkan. Telor memiliki komposisi zat giziyang lengkap, yang terkandung dalam putihnya telor maupun kuningnya telor.
 Telur dan Komposisi Telur Telur ayam ras potensial untuk mempertahankan kehidupan embrio ayam karena mengandung nutrien yang cukup bagi pertumbuhan dan perkembangan sebelum penetasan. Struktur kerabang yang kompleks merupakan ciri yang khas mendukung perkembangan embrio. Kerabang berpori-pori untuk keperluan respirasi embrio dan mengurangi kelembaban.
Secara alamiah telur mempunyai daya simpan yang relative lama (2-3 minggu), selain karena struktur fisik, telur juga mempunyai pengawet alami yang cukup potensial untuk melindungi dari kerusakan microbial. Pengawet alami yang ada pada bagian internal telur terutama bagian putih telur (albumen) mempunyai kemampuan sebagai inhibitor (penghambat) bagi pertumbuhan mikroorganisme, sehingga telur tidak cepat mengalami kerusakan/penurunan kualitas.
Ada dua cara dalam pengawetan telur, yaitu pengawetan alami pada telur dan pengawetan dengan penggaraman ( pembuatan telur asin dengan media cair dan pembuatan telur asin dengan pembalutan ).
              Telur dapat diawetkan dengan cara penggaraman. Pengawetan dengan penggaraman terdiri dari penggaraman kering dan penggaraman basah. Pengawetan dengan penggaraman kering yaitu cara mengawetkan telur untuk diasinkan dengan melakukan pembalutan pada telur tersebut. Telur dibalut dengan serbuk batu bata, abu gosok dan garam halus yang dicampur sedangkan pengawetan dengan penggaraman basah yaitu mengasinkan telur dengan cara merendam telur dalam larutan garam yang ditambah air kapur,  Kedua cara penggaraman ini jelas berbeda kualitasnya.
  Curing merupakan suatu sistem pengawetan hasil ternak yang mengandalkan kekuatan garam sebagai pengawet dengan bantuan kontrol mikroba atau fermentasi secara selektif. Kontrol mikroba dapat dilakukan antara lain dengan penambahan bahan kimia seperti nitrat, asam, dan sebagainya. Sedangkan fermentasi adalah fermentasi asam laktat.
Pengasinan (curing) daging merupakan salah satu cara pengawetan daging dengan melakukan pemberian bahan-bahan preservatif seperti garam (NaCl), Na-nitrat, Na-nitrit, dan bahan lain yang dapat menambah cita rasa. Curing memiliki tiga tujuan utama, yaitu pengawetan (preservation), rasa (flavor) dan warna (color). Curing daging membutuhkan garam yang merupakan bahan pengawet pangan pertama digunakan manusia. Garam telah menjadi bahan penting dalam pengawetan produk-produk peternakan dan perikanan. Pada tingkat tertentu, garam mencegah pertumbuhan beberapa tipe bakteri yang bertanggung jawab dalam pembusukan daging. Garam dapat mencegah pertumbuhan bakteri, baik yang disebabkan oleh efek penghambat langsung dari bakteri maupun oleh efek pengeringan yang dimiliki bakteri dalam daging.
Nitrit dan nitrat merupakan bahan tambahan yang dapat memperbaiki warna dan rasa daging pada proses curing. Selain itu, nitrit pun dapat mencegah pertumbuhan clostridium botulinum yang bersifat racun bila dikonsumsi manusia sehingga menyebabkan botulisme. Nitrit dapat berubah menjadi nitrit oksida yang akan bergabung dengan myoglobin (Mb). Myoglobin merupakan pigmen yang menentukan warna merah alami pada daging yang tidak diasin. Setelah itu nitrit oksida dan myoglobin berubah menjadi nitrit oksida myoglobin (NOMb). Nitrit yang digunakan dalam pengasinan daging ini telah diproduksi secara komersial dengan nama sodium nitrite.
Proses curing membutuhkan garam dalam konsentrasi tertentu untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Jumlah garam yang ditambahkan dalam daging sangat bergantung pada kondisi lingkungan seperti temperatur dan tingkat keasaman (pH). Kondisi tersebut akan mempengaruhi keefektifan fungsi garam sehingga tidak ada batasan pasti yang menentukan konsentrasi garam dalam proses curing. Prosedur yang digunakan dalam proses curing daging terdiri dari 1) Metode pengasinan kering, dilakukan proses yang bersifat tradisional karena merupakan metode pengasinan yang telah berusia tua. 2) Metode pengasinan basah lazim dinamakan dengan pengasinan tangki. Metode ini memiliki kemudahan dalam pengawasan dan mempunyai risiko kerusakan yang lebih kecil. Angka kehilangan berat akan lebih sedikit dalam pengasinan basah ini.
Daging yang telah diasinkan kemudian dapat disimpan selama beberapa hari dalam suhu rendah untuk memberi waktu kepada bahan pengasin agar terdistribusi sempurna. Bahan-bahan pengasinan dapat dimasukkan ke dalam daging dengan tiga alternatif lain, yaitu dengan suntikan jarum, suntikan arteri, dan pompa setik. Di negara-negara maju, proses pengasinan sangat mudah dilakukan oleh siapa saja karena semua bahan, alat dan tempat untuk proses pengasinan tersebut dapat diperoleh dalam satu produk yang terjual secara komersial.
              Istilah curing digunakan jika sistem tersebut diterapkan terhadap daging dan sejenisnya, sedangkan istilah pikel digunakan jika sistem pengawetan diatas diterapkan terhadap buah-buahan dan sayur-sayuran.
            Pengawetan dengan fermentasi digunakan untuk pengawetan susu segar yang ditambah dengan bakteri starter Lactobacillus casei atau digantikan dengan yakult.
Fermentasi bukan hanya berfungsi sebagai pengawet sumber makanan, tetapi juga berkhasiat bagi kesehatan. Salah satumya fermentasi dengan menggunakan bakteri laktat pada bahan pangan akan menyebabkan nilai pH pangan turun di bawah 5.0 sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri fekal yaitu sejenis bakteri yang jika dikonsumsi akan menyebabkanakan muntah-muntah, diare, atau muntaber. Bakteri laktat (lactobacillus) merupakan kelompok mikroba dengan habitat dan lingkungan hidup sangat luas, baik di perairan (air tawar ataupun laut), tanah, lumpur, maupun batuan. tercatat delapan jenis bakteri laktat, antara lain Lacobacillus acidophilus, L fermentum, L brevis,dll. Asam laktat yang dihasilkan bakteri dengan nilai pH (keasaman) 3,4-4 cukup untuk menghambat sejumlah bakteri perusak dan pembusuk bahan makanan dan minuman. Namun, selama proses fermentasi sejumlah vitamin juga di hasilnhkan khususnya B-12. Bakteri laktat juga menghasilkan lactobacillin (laktobasilin), yaitu sejenis antibiotika serta senyawa lain yang berkemampuan menontaktifkan reaksi kimia yang dihasilkan oleh bakteri fekal di dalam tubuh manusia dan bahkan mematikannya , Senyawa lain dari bakteri laktat adalah NI (not yet identified atau belum diketahui). NI bekerja menghambat enzim 3-hidroksi 3-metil glutaril reduktase yang akan mengubah NADH menjadi asam nevalonat dan NAD. Dengan demikian, rangkaian senyawa lain yang akan membentuk kolesterol dan kanker akan terhambat.
Di beberapa kawasan Indonesia, tanpa disadari makanan hasil fermentasi laktat telah lama menjadi bagian di dalam menu makanan sehari-hari. Yang paling terkenal tentu saja adalah asinan sayuran dan buah-buahan. Bahkan selama pembuatan kecap, tauco, serta terasi, bakteri laktat banyak dilibatkan. Bekasam atau bekacem dari Sumatera bagian Selatan, yaitu ikan awetan dengan cara fermentasi bakteri laktat, bukan saja merupakan makanan tradisional yang digemari, tetapi juga menjadi contoh pengawetan secara biologis yang luas penggunaannya.
Pengemasan merupakan bagian dari suatu pengolahan makanan yang berfungsi untuk pengawetan makanan, mencegah kerusakan mekanis, perubahan kadar air. Teknologi pengemasan perkembangan sangat pesat khususnya pengemas plstik yang dengan drastic mendesak peranan kayu, karton, gelas dan metal sebagai bahan pembungkus primer. Berbagai jenis bahan pengepak seperti tetaprak, tetabrik, tetraking merupakan jenis teknologi baru bagi berbagai jus serta produk cair yang dapat dikemas dalam keadaan qaseptiis steril. Sterilisasi bahan kemasan biasanya dilakukan dengan pemberian cairan atau uap hydrogen peroksida dan sinar UV atau radiasi gama.
Pengemasan yang dilakukan pada bahan atau produk telah diakui dapat memperpanjang umur simpan dan mempertahankan kualitas bahan atau pangan tersebut dalam jangka waktu tertantu. Secara umum kemampuan daya simpan dan kerusakan produk yang dikemas tergantung pada dua hal, yaitu sifat alamiah produk dan kondisi lingkungan.
Jenis generasi baru bahan makanan pengemas ialah lembaran plstik berpori yang disebut Sspore 2226, sejenis platik yang memilki lubang - lubang . Plastik ini sangat penting penngunaanya bila dibandingkan dengan plastic yang lama yang harus dibuat lubang dahulu. Jenis plastic tersebut dapat menggeser pengguanaan daun pisang dan kulit ketupat dalam proses pembuatan ketupat dan sejenisnya.
Namun, karena dalam pengalengan makanan digunakan sterilisasi komersial (bukan sterilisasi mutlak), mungkin saja masih terdapat spora atau mikroba lain (terutama yang bersifat tahan terhadap panas) yang dapat merusak isi apabila kondisinya memungkinkan. Itulah sebabnya makanan dalam kaleng harus disimpan pada kondisi yang sesuai, segera setelah proses pengalengan selesai. Pengalengan didefinisikan sebagai suatu cara pengawetan bahan pangan yang dipak secara hermetis (kedap terhadap udara, air, mikroba, dan benda asing lainnya) dalam suatu wadah, yang kemudian disterilkan secara komersial untuk membunuh semua mikroba patogen (penyebab penyakit) dan pembusuk. Pengalengan secara hermetis memungkinkan makanan dapat terhindar dan kebusukan, perubahan kadar air, kerusakan akibat oksidasi, atau perubahan cita rasa.
Upaya yang dapat di lakukan untuk memperpanjang masa simpan dan mempertahankan kualitas bahan pangan dapat di lakukan dengan penyimpanan pada suhu rendah, pembekuan cepat di lakukan dalam waktu kurang dari 30 menit dan suhu mencapai -240C – (-400) yang akan terbentuk kristal, sedangkan pada pembekuan lambat akan terbentuk kristal es besar dan kasar.
Dripp merupakan banyaknya air yang keluar dari daging selama penyimpanan dan tidak dapat di ikat/di serap kembali oleh sel-sel jaringan. Semakin besar kristal es yang terbentuk maka semakin banyak air yang tidak mampu di ikat kembali  sel jaringan, dripp banyak mengandung zat makanan terutama zat yang larut dalam air seperti isoleusin, leusin, lysin, methionin, triptophan dan vitamin seperti niasin, riboflavin, thiamin, primidin, asam pantotenat dan asam folat.
Air merupakan komponen penting yang ada didalam bahan pangan, karena air yang ada dalam bahan pangan akan mempengaruhi penampilan atau cita rasa bahan itu sendiri.
            Maka keberadaan air dalam bahan pangan ikut menentukan terhadap kualitas dan daya tahan bahan pangan. Air dapat menjadi kurang atau tidak dapat digunakan denan mengambilnya secara langsung (seperti halnya dalam dehidrasi dan dehidrasi beku), atau dengan meningkatkan tekanan osmose ekstraseluler (seperti dalam prosessing).
Pendiginan adalah penyimpanan bahan pangan di atas suhu pembekuan bahan yaitu -2 sampai +10 0 C. Cara pengawetan dengan suhu rendah lainya yaitu pembekuan. Pembekuan adalah penyimpanan bahan pangan dalam keadaan beku yaitu pada suhu 12 sampai -24 0 C. Pembekuan cepat (quick freezing) di lakukan pada suhu -24 sampai -40 0 C. Pendinginan biasanya dapat mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari atau minggu tergantung pada macam bahan panganya, sedangkan pembekuan dapat mengawetkan bahan pangan untuk beberapa bulan atau kadang beberapa tahun. Perbedaan lain antara pendinginan dan pembekuan adalah dalam hal pengaruhnya terhadap keaktifan mikroorganisme di dalam bahan pangan. Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan pangan tidak dapat membunuh bakteri, sehingga jika bahan pangan beku misalnya di keluarkan dari penyimpanan dan di biarkan mencair kembali (thawing), pertumbuhan bakteri pembusuk kemudian berjalan cepat kembali. Pendinginan dan pembekuan masing-masing juga berbeda pengaruhnya terhadap rasa, tekstur, nilai gizi, dan sifat-sifat lainya. Beberapa bahan pangan menjadi rusak pada suhu penyimpangan yang terlalu rendah.
Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau mengilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang di kandung melalui penggunaan energi panas. Biasanya, kandungan air bahan tersebut di kurangi sampai batas sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi di dalamya.
Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dan volume bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengangkutan dan pengepakan, berat bahan juga menjadi berkurang sehingga memudahkan transpor, dengan demikian di harapkan biaya produksi menjadi lebih murah. Kecuali itu, banyak bahan-bahan yang hanya dapat di pakai apabila telah di keringkan, misalnya tembakau, kopi, the, dan biji-bijian. Di samping keuntungan-keuntunganya, pengeringan juga mempunyai beberapa kerugian yaitu karena sifat asal bahan yang di keringkan dapat berubah, misalnya bentuknya, misalnya bentuknya, sifat-sifat fisik dan kimianya, penurunan mutu dan sebagainya.
Kerugian yang lainya juga disebabkan beberapa bahan kering perlu pekerjaan tambahan sebelum di pakai, misalnya harus di basahkan kembali (rehidratasi) sebelum di gunakan. Agar pengeringan dapat berlangsung, harus di berikan energi panas pada bahan yang di keringkan, dan di perlukan aliran udara untuk mengalirkan uap air yang terbentuk keluar dari daerah pengeringan. Penyedotan uap air ini daoat juga di lakukan secara vakum. Pengeringan dapat berlangsung dengan baik jika pemanasan terjadi pada setiap tempat dari bahan tersebut, dan uap air yang di ambil berasal dari semua permukaan bahan tersebut. Factor-faktor yang mempengaruhi pengeringan terutama adalah luas permukaan benda, suhu pengeringan, aliran udara, tekanan uap di udara, dan waktu pengeringan.
Prinsip penentuan kadar air yaitu mengukur kadar air dengan menguapkan air yang ada dalam bahan pangan dengan pemanasan (lampu infra merah). Kadar air bahan pangan langsung ditunjukan dalam persen pada skala penunjuk kadar air.
Tujuan dan Manfaat
            Adapun tujuan dari praktikum Teknologi Hasil Ternak ini  adalah untuk mengetahui kemampuan pengawet alami yang ada pada telur, untuk mengetahui penyebab kerusakan pada telur, untuk mengetahui daya simpan telur pada keadaan mentah dan setelah diolah, untuk mengetahui peran garam dalam pengawetan telur, untuk mengetahui cara pengawetan dengan penggaraman basah dan penggaraman kering, untuk mengetahui perbedaan kualitas telur dengan penggaraman basah dan penggaraman kering, untuk mengetaahui peran dan fungsi kemasan dalam mempertahankan kualitas bahan pangan, untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada daging yang didinginkan dengan menggunakan kemasan dan tanpa kemasan, untuk mengetahui peran dan fungsi kemasan dalam mempertahankan kualitas, untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada produk yang disimpan dalam kemasan dengan produk tanpa kemasan, untuk mengetahui daya tahan simpan produk, untuk melihat perubahan warna produk, untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada susu yang difermentasi selama 12-14 jam pada suhu kamar, untuk mengetahui dripp daging setelah pembekuan, untuk mengetahui driip dari berbagai irisan atau bagian karkas ayam, untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap jumlah driip yang dikeluarkan dari daging setelah pembekuan, untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kecepatan proses pengeringan, untuk mengetahui cara mengukur kadar air pangan atau bahan pangan, dan untuk mengetahui kadar air dengan deteksi infrared digital moisture balance.
            Adapun manfaat dari praktikum Teknologi Hasil Ternak ini adalah praktikan dapat mengetahui berbagai proses ataupun tindakan dalam memperpanjang umur simpan dari suatu produk pangan, dapat mengetahui cara pengawetan bahan pangan, dapat mengevaluasi proses pengolahan bahan pangan ternak, serta praktikan dapat menerapkan tindakan praktikum dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat mengetahui kualitas yang unggul dari setiap proses pengolahan hasil ternak tersebut.




















TINJAUAN PUSTAKA
Pengawetan alami pada telur
Adnan,M (2002), yang menyatakan bahwa pada telur yang sudah pecah akan mudah atau cepat mengalami kerusakan, karena akibat mikroorganisme yang ada didalam telur tersebut akan cepat tumbuh dan berkembang, sehingga telur tersebut akan rusak atau sudah berbau amis bahkan akan berbau busuk.
Allen (2001), yang menyatakan bahwa telur yang direbus bau (aroma) nya akan rusak pada hari yang ketiga sehingga, bau amis.
Antonius (2001) menyatakan bahwa telur adalah sumber protein bermutu tinggi, kaya akan vitamin dan mineral, protein telur termasuk sempurna karena menggandung semua jenis asam amino esensial dalam jumlah cukup seimbang. Asam amino esensial sanagat dibutuhkan oleh manusia, karena tidak dapat dibuat sendiri oleh tubuh sehingga harus dipenuhi dari makanan yang dimakan.
Desrosier, WN. (1988). Telur asin adalah salah satu produk olahan yang prinsip proses pembuatannya adalah penggaraman.
Gaman, MP, (1992). Diantara putih telur dan kuning telur dibatasi oleh suatu lapisan yang tipis yang disebut kalaza kuning telur tersimpan di bagian pusat telur, berbentuk hampir seperti bola.
Hadiwiyanto,S (2003), yang menyatakan bahwa pada telur yang sudah diolah misalnya telur tersebut digoreng, maka bau (aroma) telur yang sudah digoreng akan lebih cepat mengeluarkan bau (aroma) amis, dibandingkan dengan bau dari telur yang hanya dipecahkan begitu saja.
Hari Purnomo dan Adiono, 1985. Adanya jamur yang tumbuh pada permukaan telur serta terjadinya perubahan warna telur disebabkan oleh aktivitas mikroba. Kapang bersifat aerobik, paling banyak tumbuh pada permukaan bahan pangan yang tercemar sehingga bahan pangan menjadi lekat, berbulu sebagai hasil produksi miselium dan spora kapang.
Haris dan Kermas (2005), yang menyatakan bahwa pada telur yang sudah digoreng (diolah), maka viscositasnya (kekentalan) sudah pecah/rusak karena adanya pemanasan.
Murtidjo, BA (2006), yang menyatakan bahwa telur yang kulitnya bersih mulus dan kerabangnya coklat menandakan ketebalan kerabang yang merupakan salah satu faktor daya tahan simpan telur.
Pilliang, (1995). Kerabang telur berfungsi melindungi telur dari tekanan fisik dari luar, penetrasi mikroorganisme dari luar yang menyebabkan kerusakan dan penghalang penguapan CO2 dan H2O.
Rasyaf, M (2007), yang menyatakan bahwa telur sangat mudah mengalami kerusakan apalagi telur yang sudah tidak mempunyai kerabang sehingga mikroba sangat mudh berkembang dalam telur khususnya pada telur putih.
Soewedo Hadiwiyoto (1983), yang menyatakan bahwa telur yang segar dapat dipertahankan kesegarannya dalam waktu yang relatif lama apabila disimpan dalam ruangan yang bersuhu sekitar 0˚C.

Pengawetan dengan penggaraman
Buckle (2005), yang menyatakan bahwa didalam menentukan apakah pembuatan telur asinnya berhasil atau tidak, maka harus berat jenisnya lebih dari 1      ( > 1 ) sehingga dapat dikatakan berhasil dan jika dibawah 1 ( < 1 ) dapat dikatakan belum berhasil.
Cilly Sirait (1986) menerangkan bahwa larutan yang banyak digunakan dalam pengawetan telur adalah larutan garam, larutan kapur, larutan natrium silikat dan larutan bahan penyamak.
Marhijanto (1996) menyatakan bahwa nilai gizi telur dapat dipertahankan dalam waktu relatife lama, syarat-syarat telur yang akan diasinkan adalah telur masih segar dan baru, telur sudah dibersihkan dari kotoran, kulit telur masih utuh tidak retak, sebelum diasinkan telur harus diamplas untuk mempermudah proses pengasinan.
Rasyaf Muh (1983) menyatakan bahwa telur asin adalah telur itik yang diolah dalam keadaan utuh, dimana kandungan garam didalam telur dapat menghambat perkembangan organism dan sekaligus memberikan aroma yang khas, sehingga telur dapat disimpan dalam waktu relative lama.
Rasyaf, M (2009), yang menyatakan bahwa pengawetan dengan cara merendam telur segar dalam cairan yang dapat menutup pori-pori kulit, yang sekaligus juga bersifat antiseptik hal dari pengawetan basah ini juga lebih bagus bila disimpannya ditempatkan diruang yang bersuhu rendah.
Syamsixman (1982) menyatakan bahwa proses pengasinan dapat dibedakan menjadi 2, yaitu merendam telur dalam larutan garam jenuh dan membungkus telur dengan adonan garam tembahkan pula teh pada pengasinan telur.
Soedjai (2005) yang menyatakan bahwa pengawetan telur dapat dilakukan dentgan cara melapisi kulit telur dengan pembungkus kering (dry packing), perendaman (immertion in liquid), penutupan kulit dengan bahan pengawet (shell shealing) dan penyimpanan dalam ruangan pendingin (coid store).
Soedjai (2005) yang menyatakan bahwa hasil pengawetan akan terasa berbeda jika bahan dan cara pengolahannya juga berbeda. Cita rasa ini dapat berupa warna, bau, rasa, dan tekstur yang dapat meningkatkan tingkat kerusakan sehingga dapat meningkatkan penurunan konsumsi.
Winarno (1984) menyatakan bahwa cita rass bahan pangan terdiri dari 3 komponen, yaitu bau, rasa dan rangsangan dari mulut. Cita rasa telur asin yang khas mungkin disebabkan oleh beberapa factor, yaitu pemecahan senyawa didalam telur atau fermentasi mikroba selama proses pengasinan.
Winarno (2006), yang menyatakan bahwa cita rasa bahan pangan terdiri dari bau, rasa, dan rangsangan dari mulut, cita rasa telur asin khas dapat disebabkan oleh faktor pemecahan senyawa dalam telur atau fermentasi mikroba
Wiston (2003), yang menyataka bahwa didalam memberikan nilai hedomik untuk pengawetan dengan penggaraman ini bernilai cukup baik apabila nilai hedomiknya mendapatkan nilai suka dan biasa dan tidak ada kata tidak suka.

Pengawetan dengan bahan kimia (Curing)
Anonim (2000), yang menyatakan bahwa kualitas daging pada pengolahan curing didasarkan pada jumlah serat yang terkandung dalam lapisan daging untuk menyerap partikel nitrat.
Anomymous (2006), yang menyatakan bahwa tujuan dari curing ini yaitu untuk mempertahankan warna merah daging ataupun ikan, memberi rasa pada daging dan ikan, dan sebagai pengawetan.
Arbianto, P (2000), yang menyatakan bahwa larutan sodium nitrat akan berpolimerase dalam mengikat pengawet dalam endapan nitrat. Partikel yang terbentuk akan mengubah warna daging dengan resapan oleh daging yang berasal dari dalam larutan nitrat itu.
Arief, N.A. (2003), yang menyatakan bahwa didalam pengawetan dengan bahan kimia (curing) pada daging yang diberikan Nitrat dapat memberikan atau mempertahankan warna merah daging 9warna merah cerah) selama beberapa minggu dibandingkan dengan perlakuan daging tanpa diberi Nitrat.
Chowdrhury, (2006) ,Curing daging adalah cara mengolah daging dengan menambahkan beberapa bahan seperti garam (NaCl, Natrium Nitrit, dan Natrium Nitrat), Gula (Sukrosa atau patihidrolisis) serta bumbu. Curing bertujuan untuk mempertahankan warna merah pada daging dan untuk medapatkan aroma, tekstur dan kelezatan yang baik. Selain itu, curing juga untuk mengurangi pengerutan daging selama diolah dan memperpanjang ,asa simpan produk daging.
Ferdenan, S (1998), yang menyatakan bahwa teknik pengolahan hasil daripada ternak, harus didasarkan pada spesifikasi bahan pengawet yang digunakan untuk tidak menimbulkan efek negatif daripada bahan pengawet tersebut.
Gultom, S (2004), yang menyatakan bahwa nitrat yang melebihi dosis penggunaan dalam pengolahan, dapat mengundang spesimen berbahaya dalam bahan pangan yang merusak struktur fisk dari pangan tersebut dan dapat menimbulkan keracunan jika dikonsumsi.
Hadiwoyoto (2002), yang menyatakan bahwa selama pengamatan dengan curing pada daging, faktor pemberian nitrat dalam daging bersama larutan menunjukan efek serap warna saat mengamati daging didalam wadah tersebut sehingg hal tersebut jelas terbukti bahwa sodium nitrat sangat berpengaruh besar dalam daging sebagai unsur pengaawet.
            Pilliang (1995), Umumnya komposisi daging yang mendapat proses curing sangat berbeda dari daging segar.
Lawrie, AR (1995). Selain daripada kadar garam dari brine dan struktur mikroskopis dari urat-urat daging, ada berbagai faktor lain yang mempengaruhi penetrasi garam selama proses curing.
Lawrie (2003) yang menyatakan bahwa fungsi nitrit dalam curing yaitu dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Nitrit ini biasanya digunakan dalam curing daging yang mengandalkan kekuatan garam sebagai pengawet.
Petrucci (1993) mengatakan bahwa bahan kimia nitrit dan nitrat merupakan bahan kimia yang dapat digunakan dalam pengawetan bahan pangan daging maupun bahan pangan lainnya.
Syarif (2003) mengatakan bahwa pada dasarnya prinsip dari pengawetan bahan pangan dengan bahan kimia yaitu mencegah pertumbuhan mikroba, menghentikan proses-proses pembusukan oleh mikroba pada bahan pangan.
Winarto (2000) yang menyatakan bahwa daging yang dicuring dengan penambahan nitrat akan menghasilkan warna merah daging yang lebih bagus dibanding daging yang tidak dicuring.
Yati, W. (2001), yang menyatakan bahwa pengawetan dengan bahan kimi (curing) pada daging yang tidak diberikan nitar tidak lama dalam mempertahankan warna daging (warna merah cerah) selama berapa minggu bahkan juga selama beberapa hari.

Pengawetan dengan fermentasi
Buckle (2008), yang menyatakan bahwa fermentasi oleh bakteri akan menghasilkan asam. Produk yang difermentasi akan lebih bagus dibandingkan dengan produk yang tidak difermentasi.
Gaman (2001), yang menyatakan bahwa bakteri Lactobacillus casei dalam proses fermentasi yaitu menekan pertumbuhan bakteri phatogen, sehingga produk akan tahan lama, membantu proses pencernaan dalam tubuh dan akan menghasilkan rasa asam pada produk.
Hadiwiyoto, (1983). Protein yang sering digunakan dalam fermentasi bahan pangan terutama susu antara lain Lactobacillus casie, merupakan bakteri baik yang dapat menekan patogen dalam saluran pencernaan.
Harris (2001), yang menyatakan bahwa nilai rasa dari yoghurt dan plantarum yang dimasukan ke dalam susu ini akan berubah tergantung dari lama cepatnya waktu yang digunakan dalam melakuka fermentasi susu.
Hardjowigeno.S (2000), yang menyatakan bahwa susu yang dicampurkan dengan yoghurt dan yakult maka akan mengeluarkan atau menghasilkan aroma khas susu.
Nulik, J. (2001), yang menyatakan bahwa daging yang terlihat utuh dan teksturnya tetap menarik, hal ini disebabkan karena penyimpanan yang cukup lama pada suhu kamar, sehingga daging mengalami dehidrasi pengeringan.
Robert (1989) menyatakan bahwa susu fermentasi diketahui mengandung bakteri asam laktat yang mampu meningkatkan kerja enzim galaktosidae yang memudahkan pencernaan laktosa dalam usus, meningkatkan kualitas nutrisi, menurunkan kadar kolesterol darah, mencegah kanker dan mengatasi diare.
Soerpardi, G.(2003), yang menyatakan bahwa didalam pengawetan dengan cara difermentasi pada pengujian warna dengan menggunakan susu segar dicampurka dengan yoghurt, plantarum, dan yakult aka warnanya tetap berwarna putih susu.
Santoso (2000), yang menyatakan bahwa penyimpanan susu fermentasi ini didalam tabung/botol yang tertutup dapat mengakibatkan penggumpulan, namun bakteri pada susu fermentasi menyebabkan keasaman dan timbulnya gas-gas tertentu didalam susu dan keasaman terjadi karena pnggumpalan protein susu tersebut.
Pengawetan dengan pengemasan
Bambang, S (2007), yang menyatakan bahwa pengawetan atau penyimoanan pada suhu rendah lebih tahan lama dari pada disuhu kamar karena pada suhu rendah pertumbuhan mikroba akan terhambat.
Brody (2000), yang menyatakan bahwa pengemasan merupakan suatu cara dalam memberikan kondisi sekeliling yang tepat bagi bahan pangan da dengan demikian membutuhkan pemikiran dan perhatian yang lebih besar daripada yang biasanya diketahui.
Fennema (2002), yang menyatakan bahwa ada 2 pengaruh pendinginan terhadap makanan diantaranya penurunan suhu akan mengakibatkan penurunan kimi, mikrobiologi dan biokimia yag berhubungan dengan kelayuan (senescene), kerusakan (decay) pembusukan dan yang kedua adalah pada suhu dibawah 0 oC air akan membeku dan terpisah dari larutan yang membentuk es, yang mirip dalam hal air yang diuapkan paada pengeringan atau suatu penurunan Aw (aktivitas air).
Hadi wiyoto (2007), yang menyatakan bahwa penyimpanan yang baik tidak bisa menjamin kualitas bahan karena adanya sifat alami bahan yang dapat mengalami kerusakan walupun sudah ada proses pengawetan yang bertujuan untuk mencegah proses kerusakan.
Hardono.S. (2000), yang menyatakan bahwa penentuan daya awet dapat dilakukan dilaboratorium dengan cara menilai mutu bahan pangan bila disimpan didalam bahan pengemas tertentu untuk jangka waktu yang berbeda-beda di bawah kondisi standar.
Hari Purnomo dan Adiono (1985), pengemasan pada daging segar memiliki tujuan utama yakni untuk mengurangi kehilangan air atau susut bobot, mencegah masuknya bau dari luar dan membatasi jumlah oksigen.
Karel (2004), yang menyatakan bahwa ada suatu metode yang teliti untuk menentukan daya tembus plastik-plastik tipis yang bersifat fleksibel terhadap oksigen, tetapi diperlukan suatu pekerjaan untuk penerapan hasil-hasil yang dicapai dengan metode-metode tersebut dalam pengemasan bahan-bahan pangan yang peka terhadap oksigen.
Piliang (2005), yang menyatakan bahwa cara mempertahankan klualitas susu  dari serangan mikroba yaitu dengan cara dipanaskan atau pasteurisasi pada suhu 72 derjat celcius selama 15 detik atau 65 derajat celcius selam 30 menit.
Robert (2009), yang menyatakan bahwa penyimpanan daging pada suhu dingin dapat menyebabkan kerusakan apabila terlalu lama disimpan.
Soeparno 1994, bahwa penyimpanan daging pada suhu dingin meskipun dalam waktu singkat diperlukan untuk mengendalikan kerusakan dari perlakuan mekroorganisme perusak, metode yang banyak digunakan untuk memperpanjang masa simpan daging yaitu dengan pendinginan dengan suhu sampai 5ºC.

Pengawetan Dengan Pembekuan
Anonymous (1996), ytang menyatakan bahwa suatu bahan pangan yang banyak mengandung air yang banyak ataupun sedikit akan mengalami perbedaan berat bahan tersebut.
Davies (2002), yag menyatakan bahwa apabila suhu penyimpanan beku cukup rendah dan perubahan kimiawi selama pembekuan dan penyimpanan beku dapat dipertahankan sampai batas minimum, maka mutu makanan beku dapat dipertahankan untuk jagka waktu yang cukup lama.
Goliblith (2003), yang menyatakan bahwa kontak secara tidak langsung misalnya pada saat alat pembeku lempeng (plate freezer) dimanan makanan atau cairan yang telah dikemas kontak dengan permukaan logam (lempengan, silindris) yang telah dikemas dengan mensirkulasikan cairan pendingin (alat pembeku lempeng banyak) merupakan sudah satu teknik pembekuan.
Lawrie (1997), yang menyatakan bahwa pada ruangan terbuka bahan akan mengalami perubahan yang berupa adanya penguapan yang dapat menyebabkan kekeringn pada bahan tersebut.
Mach Bean (2000), yang menyatakan bahwa pemilihan suhu rendah yang dapat menghindarkan pembekuan bagian tipis daripada karkas dan pengemsannya seketat mungkin dalam pelaksanaannya suhu ii adalah – 1,5 o C hingga 0,2 oC.

            Pengawetan Dengan Pengeringan
Bernando (2001), yang menyatakan bahwa tujuan pengawetan yaitu menjaga ketahanan terhadap serangan jamur (kapang), bakteri, virus, dan kuman agar daging tidak mudah rusak. Ada beberapa cara pengawetan yaitu pendinginan, pelayuan, pengasapan, pengeringan, pengalengan dan pembekuan.
Bender dan Muchtadi (2002), yang menyatakan bahwa prosedur memasak tradisional hanya menimbulkan berkurangnya nilai biologis daging yang berarti dalam pengolahan dendeng tidak terjadi kerusakan protein yang hebat, karena nilai gizi protein yang tinggi pada dendeng dapat dipertahankan tapa menimbulkan pengaruh atas keamanan untuk dikonsumsi manusia.
Buckle (2004), yang menyatakan bahwa untuk mempengaruhi tingkat kadar air yang dikeluarkan oleh arus udara pans (yang digunakan dalam proses), maka perlu untuk mempunyai rasio permukaan volume yang tinggi dalam daging, oleh karena itu digunkan daging yang sudah dipotong-potong halus.
Handiwiyoto, Soeswodo (1983) menyatkan bahwa pengeringa dengan menggunakan sinar matahari sebaiknay dilakukan ditempat yang udaranya kering dan suhu nya lebih dari 100oF. Pengeringan dengan metode ini memerlukan waktu 3-4 hari. Pengeringan dengan menggunakan oven dapat dilakukan dengan mengatur panas, kelembaban dan kadar air. Waktu yang diperlukan 5-12 jam agar bahan menjadi kering, temperature oven diatas 1400F.
Hermana (2000), yang menyatakan bahwa daging adalah urat yang melekat pada kerangka, kecuali dari bagian bibir, hidung, dan telinga dari hewan yang sekat sewaktu dipotong. Daging terdiri dari otot, jaringan penghubung dan jaringan ternak.
Hermansya,M.(2002), yang menyatakan bahwa penyimpanan bahan makanan yang cukup lama selama suhu 60 oC dan 40 oC akan menyebakan daging dehidarasi dalam pengeringan daging merupakan bahan pangan yang sangat mudah rusak, karena memiliki senyawa biologis yang masih aktif.
Maha (2000), yang menyatakan bahwa pembuatan dendeng ayam merupakan salah satu usaha pengawetan daging. Dendeng yang dibuat dendeng yang bisa diperoleh aroma lain dan dendeng yang baik dapat dismpan sampai 60 hari.
Robert (1982) menyatakan bahwa tujuan pengeringan untuk mengurangi kadar air bahan sampel batas dimana perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan pembusukkan terhambat.
Soewodo (1983) menyatakan bahwa pengeringan adalah suatu cara atau proses untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang dikandungnya dengan menggunakan energy panas, biasanya kandungan air bahan dikuranngi sampai batas dimana mikroba tidak tidak dapat tumbuh lagi didalamnya.
Sofyan (2001), yang menyatakan bahwa pengawetan daging merupakan suatu cara menyimpan daging untuk jagka waktu yang cukup lama agar kualitas maupun kebersihannya tetap terjaga.
Suetarno (1992) menyatakan bahwa pengeringan dengan pemanas buatan mempunyai beberapa tipe alat dimana pindah panas berlansung secara konduksi atau konversi, mesakipun ada beberapa yang dapat dilakukan dengan cara radiasi. Alat pengering dengan menggunkan pindah panas secara konversi pada umumnya menggunkan udara panas yang dialirkan, sehingga energy panas merata keseluruh bahan.
Winarno (1987)menyatakan bahwa terdapat dua metode pengeringan, yaitu dengan metode sun drying dan metode artificial drying. Sun drying, yaitu suatu proses pengeringan dengan menggunakan panas matahari. Sedangkan artificial drying, yaitu suatu proses pengeringan dengan menggunakan panas yang berasal dari suatu mesin pengering. Keuntungan suhu dan waktu pengeringan dapat diatur serta kebersihan pangan lebih terjamin.
Penentuan Kadar Air dengan Infrared Digital Moisture Balance
Buckle (2004), yang menyatakan bahwa untuk mempengaruhi tingkat kadar air yang perlu untuk mempunyai rasio permukaan volume yang tinggi dalam daging oleh karena itu digunakan daging yang sudah dipotong-potong halus.
Hadiwiyato,S (2003), yang menyatakan bahwa penentuan kadar air bahan pangan akan efisien dan praktis dengan menggunakan media infra merah dengan kualitas tentu yang cukup efisien.
Purnomo (2004), yang menyatakan bahwa air bebas dengan mudah hilang bila terjadi pengeringan dan penguapan, sedangkan air terikat sulit dibebaskan denga cara tersebut.
Winarno, (2003), yang menyatakan bahwa daging memiliki komposisi yang terdiri dari 75 5 air, 18 % protein, 4 % protein yang dapat larut (termasuk mineral) dan 3 5 lemak. Diperoleh hasil kadar air pada percobaan ini adalah tetap normal.






             













MATERI DAN METODA
Waktu dan Tempat
Praktikum Teknologi Hasil Ternak ini dilaksanakan setiap hari Senin  pukul 13.30- 15.30 WIB yang dimulai dari Tanggal 11 April 2013 - 2 mei 2013 di Laboratorium Tekhnologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi.

Materi
Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum Dasar Teknologi Hasil Ternak ini adalah telur ayam ras, minyak goreng, telur itik 5 butir, garam halus 60 gram, kapur sirih, air matang yang telah dingin, serbuk batu bata 30 gram, abu gosok, larutan teh, daging, kemasan plastik poli etilen, susu pasteurisasi, daging sapi atau kerbau, gula pasir, air, sodium nitrat, susu segar, bakteri starter lactobacillus casei ataupun yakult yang sudah jadi, susu bubuk 2 sendok, sirup, daging ayam, daging ayam 300 gram, bawang putih 6 gram, ketumbar 9 gram, gula merah 90 gram, garam 9 gram, asam jawa 3 gram, daging ayam 1-2 gram, tissue dan sabun.
            Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah piring, penggorengan, amplas, sabut, stoples atau ember, ember plastik, pisau, refrigerator, sealer (perekat plastik), gelas atau botol, panci, kompor, timbangan, toples (botol), panci email, alat pengaduk, freezer, telenan, termometer, plastik, timbangan ohaus, food processor, baskom, daun pisang, oven, botol kecil 3 buah, eksikator, peralatan infrared digital moisture balance.
Metoda
Pengawetan Alami Pada Telur
Adapun cara kerja yang digunakan dalam praktikum ini adalah siapkan 3 butir telur dan bersihkan dari kotoran yang ada pada permukaan kerabang,masing-masing telur diberi tanda sesuai dengan perlakuan yaikni: T-1= biarkan telur dalam keadaan utuh dan mentah, T-2= pecahkan telur dan letakkan dalam piring, T-3= rebus telur sampai masak (10 menit), kemudian kupas dan letakkan dalam piring, T-4= goreng telur menjadi telur mata sapi dan letakkan dalam piring, kemudian letakkan semua perlakuan telur diatas dalam ruangan dengan kondisi suhu dan kelembapan kamar, amati semua perlakuan tersebut sehari 2 kali selama 5 hari.
Pengawetan dengan penggaraman
            Pengawetan dengan penggaraman, yaitu pembuatan telur asin dengan media cair yang dilakukan adalah telur dicuci dengan air dan digosok dengan sabut, kemudian dilap dengan kain kering, kerabang telur diamplas, telur direndam dalam laruran garam ( air : garam = 3 : 1 ), tambahkan sedikit kapur, kemudian disimpan dalam ember yand ditutup selama 8 – 10 hari dan terakhir direbus. Sedangkan pembuatan telur asin dengan pembalutan adalah telur dibersihkan, buat campuran antara garam halus, serbuk batu bata dan abu gosok dengan perbandingan 4 : 3 : 3, campuran tersebut dibuat menjadi pasta dengan menambah larutan teh, telur di bungkus dengan pasta tadi, simpan pada ember dan ditutup rampat selama 8 – 10 hari, kemudian rebus hingga masak dan bandingkan hasilnya dengan cara basah.
Curing (Pengawetan dengan bahan kimia)
Curing (pengawetan dengan bahan kimia), yang dilakukan adalah menyiapkan dua potong daging masing – masing 100 gram, buat larutan yang terdiri atas 7,26 gram garam, 2,70 gram gula, 0,23 gram sodium nitrat dan 45,5 ml air, dan buat larutan lain tanpa sodium nitrat, masukkan masing – masing daging dalam larutan tersebut, simpan dalam suhu refrigerator selama tujuh hari dan amati perubahan yang terjadi.
Pengawetan dengan fermentasi
Adapun cara kerja dalam Pengawetan dengan fermentasi yang dilakukan adalah Siapkan 1 liter susu lalu panaskan(pasteurisasi) sampai mendidih, tambahkan susu bubuk sebanyak 5 % dari berat susu, sedikit demi sedikit sambil terus diaduk, kemmudian dinginkan sampai suhu 45 C (agak hangat) selanjutnya susu tersebut dibagi menjadi 3 (tiga) bagian : a. Susu YK-1 ditambahkan starter (yakult) 2 sendok teh, b. Susu YK-2 ditambahkan starter (yakult) 3 sendok teh, c. Susu Yk-3 ditambahkan starter (yakult) 4 sendok teh, susu yang telah dicampur dengan yakult, kemudian dimasukkan kedalam botol kecil yang tertutup rapat, biarkan pada suhu kamar (25-270C) selama 12-14 jam, kemudian amati perubahan selam proses fermentasi dan lakukan uji organoleptik.
Pengawetan dengan pembekuan
Adapun cara kerja dalam Pengawetan dengan pembekuan, yang dilakukan adalah Siapkan karkas ayam dan belah menjadi 2 bagian , yaitu karkas kiri dan kanan, masing-masing pisahkan berdasarkan irisan karkas yang meliputi: irisan punggung, sayap dada, paha atas dan paha bawah, lalu timbang masing-masing irisan karkas dan selanjutny masukkan dalam kemasan plastik dan setelah diberi tanda lalu masukkan semua kemasan karkas kedalam frezzer selama 48 jam, setelah itu cairkan (thawing) kemasan karkas dengan ketentuan: irisan karkas bagian kiri di thawing pada suhu kamar sampai irisan karkas lunak dan karkas bagian kanan di thawing pada refrigrator selam 2 jam dan selanjutnya thawing pada suhu kamar sampai irisan lunak, selanjutnya keluarkan irisan karkas dari kemasan plastik dan timbang lalu hitung driip dari masing-masing irisan karkas dengan rumus :


 % dripp =  Bobot sebelum dibekukan – Bobot setelah di thawing  x 100 %
                            Bobot sebelum dibekukan

Pengawetan dengan pengemasan
            Pengawetan dengan pengemasan pertamakali yang dilakukan adalah Pengemasan dengan pendinginan yaitu, menyiapkan daging sapi dua potong dengan ukuran 5 x 10 cm, daging disimpan dalam refrigerator pada suhu rendah (1 – 10°C) dengan ketentuan daging I daging dimasukkan dalam plastik poli etilen dan rekatkan, daging II daging dibiarkan terbuka dalam refrigerator,amati perubahan yang terjadi pada daging setiap hari selama lima hari, daging diukur dan ditentukan kadar air masing – masing daging. Sedangkan pengemasan produk ternak yang dilakukan, yaitu menyiapkan susu segar sebanyak 0,5 liter, pasteurisasi susu tersebut pada suhu 72°C selama 15 detik, susu dimasukkan kedalam empat botol, dua botol disimpan pada suhu kamar, dua botol disimpan suhu rendah, salah satu dari botol tutupnya dibuka dalam masing – masing penyimpanan, amati perubahan yang terjadi pada susu setiap 8 jam selama 2 hari.

Pengawetan dengan pengeringan
Daging dicacah, selanjutnya dihaluskan dengan food processor, haluskan semua bumbu (bawang putih, ketumbar, gula merah, garam, asam jawa) kemudian dicampur dengan daging ayam dalam food Processor, buat lapisan tipis (sekitar 3-5 mm) adonan yang sudah siap letakkan diatas daun pisang, kemudian keringkan dalan oven dengan 2 perlakuan yakni: dendeng 1 dikeringkan dalam oven selama 36 jam pada suhu 600C dan dendeng 2 dikeringkan dalam oven selama 72 jam pada suhu 400 C.
Adapun cara kerja penghitungan kadar air dendeng sebagai berikut : Panaskan botol timbang dalam oven pada suhu 1050C selama ½ jam, kemudian masukkan ke dalam desikator, tutup rapat desikator dan selanjutnya timbang dan catat berat botol (W), masukkan sampel seperlunya kedalam botol timbang, kemudian catat botol serta sampel (W1), masukkan dan panaskan botol timbang dalam oven pada suhu 1050C selam 24 jam, kemudaian angkat dan dinginkan dalam eksikator dan selanjutnya timbang (W2) dan kadar air dendeng dapat dihitung dengan runus:
                                           
Kadar air bahan =100 (W1-W2)
                                            (W2 - W)

Penentuan Kadar Air dengan Infrared Digital Moisture Balance
Adapun cara kerja yang digunakan dalam praktikum ini yaitu siapkan daging sapi sebanyak 1-2 gram, kemudian letakkan dalam plastik perak detection, kemudian sampel daging yang ada pada kertas perak detection diletakkan diatas ruang infrared medium, dan peralatan moisture balance diinstruksikan, waktu penentuan kadar air akan terdeteksi sampai kadar air diperoleh, hasil kadar air yang diperoleh dibandingkan denga kadar air yang ditentukan.


HASIL DAN PEMBAHASAN
Tujuan utama usaha peternakan adalah untu mendapatkan hasil/produk ternak yang berkualitas baik sehingga aman dan sehat bagi konsumen. Aspek produksi ini sangat penting karena menentukan produk akhir dari produk ternak. Sebagai contoh adalah bahwa usaha peternakan pedaging adalah bertujuan utama untuk mendapatkan daging atau karkas yang baik. Kualitas karkas dan daging sangat ditentukan oleh genetik dan lingkungan. Genetik di sini meliputi spesies, bangsa (breed), tipe ternak dan jenis kelamin. Sedangkan faktor lingkungan seperti nutrisi, pemeliharaan, pemakaian zat aditif, umur pemotongan, dan lain-lain. Demikian halnya dengan produksi susu dan telur, yang pada aspek produksi ini sangat dipengaruhi/ditentukan oleh genetik dan lingkungan.
Adapun hasil yang diperoleh pada praktikum Teknologi Hasil Ternak ini adalah bahwa pada setiap pengamatan menunjukkan hasil yang berbeda-beda, artinya dalam setiap pengamatan pada bahan baku praktikum yaitu hasil olahan ternak dalam kinerja praktikum menunjukkan hasil yang berbeda-beda.
Bahan pangan merupakan materi yang mudah rusak (perishable).  Dengan sifat yang mudah rusak, maka bahan pangan mempunyai masa simpan yang terbatas.  Bermacam-macam teknik pengawetan dan pengolahan bahan pangan dilakukan untuk memperpanjang marketable life komoditas hasil pertanian di antaranya pengeringan, pembekuan, penggunaan bahan kimia dan iradiasi. Tujuan pengawetan pangan adalah untuk menghambat atau mencegah terjadinya kerusakan pangan, mempertahankan kualitas bahan, menghindarkan terjadinya keracunan dan mempermudah penanganan serta penyimpanan.  Bahan pangan yang awet mempunyai nilai yang lebih tinggi karena terjadinya kerusakan dapat diperkecil.  Namun demikian metode pengawetan tidak selalu dapat mempertahankan kualitas asal bahan pangan atau kandungan gizi dari komoditas yang diawetkan.



Pengawet Alami Pada Telur
Telur merupakan salah satu hasil ternak yang dihasilkan oleh ternak unggas, kualitas telur ditentukan oleh 2 faktor, yaitu kulitas luarnya berupa kulit cangkang dan isi telur. Kualitas luar ini bisa berupa bentuk, warna, keutuhan dan kebersihan kulit cangkang. Sedangkan yang berkaitan dengan isi telur meliputi kekentalan putih telur, warna dan posisi telur, serta ada tidaknya noda-noda pada putih telur, dan kuning telur.
Telur yang segar baik ditandai oleh bentuk kulitnya yang bagus, cukup tebal, tidak cacat (retak), warnanya bersih, rongga udara dalam telur kecil, posisi kuning telur ditengah-tengah, dan tidak terdapat bercak atau noda darah.
Adapun hasil yang diperoleh pada pengawetan alami pada olahan hasil ternak adalah bahwa dalam pengolahan hasil ternak yang secara alami pada dasarnya menunjukkan kualitas olahan yang sederhana. Artinya rentan waktu yang dapat digunakan untuk mempertahankan kualitas dan kuatitas daripada hasil olahan ternak tersebut adalah rendah.
Menurut Antonius (2001) menyatakan bahwa telur adalah sumber protein bermutu tinggi, kaya akan vitamin dan mineral, protein telur termasuk sempurna karena menggandung semua jenis asam amino esensial dalam jumlah cukup seimbang. Asam amino esensial sangat dibutuhkan oleh manusia, karena tidak dapat dibuat sendiri oleh tubuh sehingga harus dipenuhi dari makanan yang dimakan
Tabel 1. Hasil Pengamatan Pengawetan Alami Pada Telur.

Peubah
Prlkn
Pengamatan hari ke :
1
2
3
4
5
6
7
Bau
T-1
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
T-2
Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
T-3
Normal
Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
T-4
Normal
Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Warna
T-1
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
T-2
Normal
Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
T-3
Normal
Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
T-4
Normal
Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Viscositas
T-1
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
T-2
Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
T-3
Normal
Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
T-4
Normal
Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal
Tidak Normal

Pengamatan yang dilakukan pada pengawetan alami pada telur bertujuan untuk mengetahui kamampuan pengawetan alami yang ada pada telur dan untuk mengetahui daya simpan telur pada keadaan mentah dan setelah diolah. Dan setelah proses pengamatan berlangsug ternyata kemampuan pengawetan pada telur tidak mampu bertahan lama semua hanya berlangsung selama ± 2 hari. Setelah itu telur akan mengalami perubahan baik bau, dan perubahan warna terjadi perubahan warna telur tersebut dan dibuang.

Gambar 1. Telur T-1 metah dan utuh
Pengamatan pada T-1 ternyata telur T-1 masih bisa bertahan selama 7 hari pegamatan dan akan bertahan lebih lama ± 2-3 minggu karena telur mempunyai kerabang yang berperan untuk melindungi telur dari tekanan fisik dari luar. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Pilliang, (1995). Yang menyatakan bahwa Kerabang telur berfungsi melindungi telur dari tekanan fisik dari luar, penetrasi mikroorganisme dari luar yang menyebabkan kerusakan dan penghalang penguapan CO2 dan H2O.

Gambar 2. Telur T-2 yang dipecah dan diletakan dipiring
Pengamatan pada T-2 setelah diamati ternyata daya simpan telur T-2 tidak bisa bertahan lama karena telur mengalami penguapan karbondioksida (CO2) dan uap air (H2O) dari alam. Hal ini sesuai dengan pendapat Haryoto (1996) menyatakan bahwa kerusakan isi telur disebabkan adanya C02 yang terkandung didalamnya sudah banyak keluar, sehingga derajat keasaman meningkat penguapan yang terjadi juga menyebabkan bobot telur menyusut dan putih telur menjadi encer, masukknya mikroba kedalam telur melalui pori-pori telur juga akan merusak isi telur.

Gambar 3. Telur T-3 direbus
Pengamatan pada telur T-3 juga tidak tahan akan daya simpan karena kerabang telur tidak melindungi telur sehingga telur cepat mengalami kerusakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Adnan, M (2002), yang menyatakan bahwa pada telur yang sudah pecah akan mudah atau cepat mengalami kerusakan, karena akibat mikroorganisme yang ada didalam telur tersebut akan cepat tumbuh dan berkembang, sehingga telur tersebut akan rusak atau sudah berbau amis bahkan akan berbau busuk.
Gambar 4. Telur T-4 telur digoreng mata sapi
Pengamatan pada telur perlakuan T4 tidak tahan dengan daya simpan bau nya lebuh menyengat dibandingkan telur yang dipecah begitu saja dan ditakan dipiring. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadiwiyanto,S (2003), yang menyatakan bahwa pada telur yang sudah diolah misalnya telur tersebut digoreng, maka bau (aroma) telur yang sudah digoreng akan lebih cepat mengeluarkan bau (aroma) amis, dibandingkan dengan bau dari telur yang hanya dipecahkan begitu saja.
            Dari pengamatan di atas dapat disimpulkan ke empat telur T-1, T-2, T-3, dan T-4 mempunyai daya simpan yang berbeda – beda. Telur T-1 lebih tahan lama awet karena masih dalam keadaan utuh dan dilindungi kerabang. Sedangkan telur yang lain dengan perlakuan yang berbeda mempunyai daya tahan yang lebih rendah dan cepat rusak.

Pengawetan dengan Penggaraman
Adapun hasil yang diperoleh pada praktikum pengawetan dengan penggaraman tersebut yaitu bahwa kualitas pembuatan telur asin lebih efisien dengan cara kering dibandingkan dengan cara basah. Hal itu jelas terlihat daripada kualitas telur asin yang telah diuji. Efisiensi penyerapan garam jauh lebih besar terjadi pada telur asin dengan cara pembalutan (dengan media kering).
Berikut ini adalah tabel yang menjelaskan perbandingan kualitas dan kuantitas daripada telur asin yang dibuat dengan cara basah dan dengan cara kering, sebagai berikut:

Tabel 2. Hasil Pengamatan Telur Asin dengan Pengawetan Penggaraman
Penggaraman
Unit Telur
Bobot Awal (gr)
Bobot Akhir (gr)
Penyusutan (%)
Volume
ml
Berat jenis (BJ)


Basah
1
67,238
66,6
0,638
51
1,305
2
61,237
60,2
1,073
48
1,254
3
64,598
63,1
1,498
50
1,262
Rataan
64,37
63,1
1,069
49,67
1,273

Kering
1
50,641
58,1
0,541
48
1,210
2
58,344
57,89
0,454
47
1,231
3
76,050
75,10
0,950
51
1,472
Rataan
61,678
63,696
0,648
48,67
1,304

            Dari hasil praktikum yang di lakukan dapat di ketahui bahwa pada proses penggaraman ini terjadi penyusutan bobot telur pada penggaraman dengan cara basah terdapat telur yang busuk yaitu telur no 2. hal ini di tandai dengan bau yang busuk saat tercium. Telur yang busuk ini di sebabkan karena telur tersebut telah lama (umur telur telah tua/lama).
            Pada saat penggaraman dengan cara kering terdapat 2 butir telur yang busuk yaitu telur no2 dan no3. Saat telur di cuci kerabang telur tampak berubah warna yaitu agak kuning kecoklatan, hal ini di sebabkan karena pengaruh dari busuk the dan serbuk batu bata yang di berikan pada saat pembalutan

Tabel 3. Hasil Pengamatan Cita Rasa
Penggaraman
Nilai Hedonik
Bau
warna
Tekstur
Rasa
Alb
yolk
Alb
yolk
Alb
yolk
Alb
yolk
Basah
Sgt suka
Suka
Biasa
tdk suka
Sgt tdk suka
Kering
Sgt suka
Suka
Biasa
tdk suka
Sgt tdk suka

Berdasarkan data dalam tabel diatas yang diperoleh untuk pengamatan citarasa bahwa pada umumnya untuk penggaraman basah memiliki nilai hedonik yang cukup baik, karena dari bau dan warnanya yang bernilai suka, sedangka untuk tekstur dan rasanya bernilai biasa saja. Dan untuk penilaian penggaraman kering memiliki nilai hedonik yang cukup baik, juga karena dari bau, tekstur, dan rasanya bernilai biasa saja, sedangkan untuk warna dan rasanya bernilai suka. Sesuai denga pendapat Winston, (2003), yang menyatakan bahwa didalam memberikan nilai hedonik untuk pengawetan dengan penggaraman ini bernilai cukup baik apabila nilai hedoniknya mendapat nilai suka dan biasa dan tidak ada pernyataan tidak suka.
Diagram pembuatan Telur Asin Praktikum Tekhnologi Hasil Ternak

 ....




Dari diagram diatas dapat diperjelas lagi bahwa sebelum telur dibalut, telur harus dibersihkan terlebih dahulu supaya tidak ada kotoran pada kerabang telur tersebut, lalu pembuatan pasta dimulai dengan pencampurkan abu gosok, garam dan dan serbuk batu bata yang telah dihaluskan dan tambahkan air secukupnya, setelah pasta tersebut jadi, balut telur dengan pasta tersebut sampai telur benar-benar terbalut, lalu simpan dalam ember kecil.
Setelah disimpan selama 7 hari maka telur dapat dibersihkan dan direbus, dan ada lagi cara pemasakannya yang berbeda dengan cara telur dibersihkan dari balutan pasta dan telur siap dimakan. Yang dikatakan dengan bakteri pembusuk adalah, masuknya mikroba dari pori-pori telur sehingga dapat menyebabkan kualitas dari telur rusak, mencegah keluarnya air dari telur adalah bahwa telur juga dapat mengalami penguapan dan penguapann tersebut juga dapat membuat kualitas pada telur rusak.
            Pori-pori yang ada pada permukaan telur juga merupakan jalan bagi invasi mikroba kedalam telur serta penyerapan bau terhadap lingkungan penyimpanan serta merupakan jalan bagi penguapan/ hilangnya karbondioksida dan air dari dalam telur.

Gambar 6. Pembalutan Telur Itik dengan adonan pasta

Dari praktikum yang sudah dilaksanakan didapat lah telur asin yang bagus dan tidak ada yang rusak. Di bawah ini adalah gambar telur asin yang telah direbus.

Gambar 7. Telur asin setelah direbus

Dari gambar di atas dapat kita lihat bahwa kuning telur (yolk) semakin terlihat kuning pekat dibandingkan telur yang tidak diberi perlakuan dan hanya direbus begitu saja.
Curing (Pengawetan Dengan Bahan Kimia)
Curing daging adalah cara mengolah daging dengan menambahkan beberapa bahan seperti garam (NaCl, Natrium Nitrit, dan Natrium Nitrat), Gula (Sukrosa atau patihidrolisis) serta bumbu. Curing bertujuan untuk mempertahankan warna merah pada daging dan untuk medapatkan aroma, tekstur dan kelezatan yang baik. Selain itu, curing juga untuk mengurangi pengerutan daging selama diolah dan memperpanjang ,asa simpan produk daging (Chowdrhury, 2006).
Adapun hasil yang diperoleh dari praktikum curing (pengawetan dengan bahan kimia) tersebut, dijelaskan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 4. Hasil Pengamatan Kualitas Warna Daging melalui Pengamatan Curing (Pengawetan dengan Bahan Kimia)

Perlakuan Daging
Perubahan Warna pada Hari Pengamatan ke
1
2
3
4
5
6
7
Tanpa Nitrat
Merah
Merah
Merah
Merah
Merah pudar
Merah Pudar
Merah kecoklatan
Diberi Nitrat
Merah
Merah
Merah pudar
Merah memucat
Merah Pucat
Merah Pucat
Merah Pucat

Dari hasil yang didapat bahwa daging sapi maupun kerbau dapat diawetkan dngan cara apapun, termasuk dengan curing yang menggunakan, dan dengan proses pembekuan ataupun proses pemanasan dan dehidrasi pengeringan. Dan menurut Hadiwiyoto (2000) yang menyatakan bahwa daging dapat diawetkan dengan proses pembekuan, proses format (pemanasan) dan dehidrasi pengeringan.
Berikut gambar dari pengamatan Curing (Pengawetan Dengan Bahan Kimia) yaitu sebagai berikut :

Gambar .8 Daging diberi Sodium Nitrat
Gambar di atas adalah daging yang diberi Sodium Nitrat dan setelah direbus. Memiliki warna yang lebih merah. Daging tersebut memiliki tekstur baik dan padat.
Gambar 9. Daging tanpa diberi Sodium Nitrat
Gambar di atas adalah daging yang tanpa diberi Sodium Nitrat dan setelah direbus. Memiliki warna merah kecokelatan. Daging tersebut memiliki tekstur lembut dan semakin lunak.
Dari tabel dan gambar di atas dapat disimpulkan bahwa daging yang diberi Sodium Nitrat akan mempertahankan warna merah pada daging. Hal ini sesuai dengan pendapat (Winarno, 2002) dan (Septa, 2010) yang menyatakan bahwa nitrit bereaksi dengan gugus sulfhihidril dan membentuk senyawa yang tidak dapat dimetabolis oleh mikroba dalam kondisi anaerob. Pada daging, nitrirt membentuk nitrooksida yang dengan pigmen daging akan membentuk nitrosomioglobin yang berwarna merah cerah.
Pada praktikum Curing ini  dapt dlihat juga bahwa daging yang dicuring dapat awet dari daging – daging biasanya yang hanya dibiarkan disuhu kamar dengan keadaan terbuka. Hal ini sesuai dengan pendapat (Septa, 2010) yang menyatakan bahwa pembentukan nitrooksida dapat terlalu banyak menggunakan garam nitrit, oleh sebab itu biasanya digunakan campuran garam nitrat. Garam nitrit akan tereduksi oleh bakteri nitrat menghasilkan nitrit. Peran garam nitrat sendiri sebagai bahan pengawet masih dipertanyakan. Berdasarkan literatur penelitian yang didapat bahwa nitrit dapat mencegah dan memperlambat terjadinya pembusukan.

Pengawetan Dengan Fermentasi
Pengawetan makanan adalah cara yang digunakan untuk membuat makanan memiliki daya simpan yang lama dan untuk mempertahankan sifat-sifat fisik dan kimia makanan. Pengawetan makanan harus memperhatikan jenis bahan makanan yang diawetkan, keadaan bahan makanan, cara pengawetan dan daya tarik produk pengawetan makanan.
Susu fermentasi diketahui mengandung bakteri asam laktat yang mampu meningkatkan kerja enzim galaktosa yang memudahkan pencernaan laktosa dalam usus.





Tabel 5. Pengawetan Dengan Fermentasi

Pengamatan
Perlakuan
YK I
YK II
YK III
Warna
Putih
Putih
Putih susu
Aroma
Susu
Susu
Susu
Kekentalan
Padat
Cair
Cair
Rasa
Pahit
Agak Pahit
Asam Manis


Dari praktikum yang telah dilaksanakan hasil yang didapatkan adalah setelah susu dibiarkan pada suhu kamar selama 12-14 jam maka diperoleh warna ketiga perlakuan.
Dari data diatas dapat diketahui bahwa YK-III merupakan hasil fermentasi yang baik jika dibandingkan dengan susu YK-I dan YK-II, karena mempunyai warna Putih kekuningan, bau asam yang menyengat dan rasa asam. Hal tersebut karena pada susu YK-III ditambahkan dengan 4 sendok teh yakult, sehingga bakteri Lactobacillus casei yang ditambah kedalam susu lebih banyak dibandingkan dengan yakult yang ditambahkan pada YK-1 dan YK-II. Sehingga pada YK-III akan menghasilkan hasil fermentasi yang lebih baik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat (Buckle, 2005) yang menyatakan bahwa fermentasi oleh bakteri akan menghasilkan asam. Produk yang difermentasi akan lebih bagus dibandingkan dengan produk yang tidak difermentasi.            
Susu yang difermentasi ini akan lebih tahan lama, karena peranan Lactobacillus casei dalam fermentasi yaitu untuk menekan pertumbuhan baketri phatogen. Hal ini sesuai dengan pendapat Gaman (2006) yang menyatakan bahwa bakteri Lactobacillus casei dalam proses fermentasi yaitu menekan pertumbuhan bakteri phatogen, sehingga produk akan tahan lama, membantu proses pencernaan dalam tubuh dan akan menghasilkan rasa asam pada produk.

Pengawetan dengan pengemasan
Pengawetan Pangan ditujukan untuk mencegah terjadinya perubahan-perubahan yang tidak diinginkan pada produk pangan, yaitu menurunnya nilai gizi dan mutu sensori bahan pangan, dengan cara mengontrol pertumbuhan mikroorganisme, mengurangi terjadinya perubahan-perubahan kimia, fisik dan fisiologis alami yang tidak diinginkan, serta mencegah terjadinya kontaminasi. Ada tiga konsep metoda pengawetan yang umum dijalankan yaitu Pengawetan secara kimiawi, Pengawetan secara biologis dan Pengawetan secara fisik.
Adapun hasil yang diperoleh pada praktikum pengawetan dengan pengemasan terhadap produk hasil ternak yaitu pada pengawetan dengan pengemasan ini dapat dibahas terperinci yaitu bahwa pengemasan merupakan suatu cara dalam memberikan kondisi sekeliling yang tepat bagi bahan pangan dan dengan demikian membutuhkan pemikiran dan perhatian yang lebih besar daripada pengawasan yang biasanya diketahui. Semua bahan pangan mudah rusak dan hal ini berarti bahwa setelah suatu jangka waktu penyimpanan tertentu ada kemungkinan untuk membedakan antara bahan pangan segar dengan bahan pangan yang telah disimpan selama jangka waktu tertentu. Perubahan yang terjadi merupakan suatu kerusakan. Meskipun demikian, sebagian bahan pangan mungkin terjadi matang atau tua setelah dikemas dan memang ada perbaikan dalam waktu singkat tetapi kemudian diikuti oleh kerusakan (Brody, 2000).
a.   Pengemasan dengan pendinginan.
Pengemasan dengan pendinginan menunjukkan efisiensi suhu yang lebih rendah untuk pengemasan bahan pakan. Dengan suhu yang rendah, akan lebih menutup pori pengeluaran air pada permukaan bahan pangan tersebut. Selain itu tentu Aw dalam bahan pangan akan lebih rendah, yang dapat menimbulkan kerusakan didalam bahan pangan tersebut. Berikut ini adalah tabel yang menjelaskan hasil pengamatan pada pengawetan dengan pengemasan dalam pengemasan dengan pendinginan, sebagai berikut:



Tabel 6. Hasil Pengamatan pada Pengawetan dengan Pengemasan
Pengamatan
Daging

Pengamatan pada hari ke
1
2
3
4
5
Warna
I
Merah hati
Merah hati
Merah pucat
Kehitaman
Hitam
II
Merah hati
Merah Hitam
Merah Pucat
Kehitaman
Hitam
Tekstur
I
Normal
Keras
Keras
Lembek
Lembek
II
Normal
Keras
Karas
Kasar
Kasar
Konsistensi
I
Padat
Kasar
Liat
Liat
Liat
II
Padat
Liat
Liat
Liat
Kasar
Kadar air
I
Normal
Banyak
Banyak
Banyak
Berkurang
II
Normal
Sedikit
Sedikit
Kering
Kering
Bobot Awal
I
23gr
-
-
-
-
II
22gr
-
-
-
-
Bobot Akhir
I
-
-
-
-
21gr
II
-
-
-
-
9gr

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa pada pengemasan dengan pendinginan pada daging semakin hari mengalami penurunan kualitas. Seperti pada warna semakin hari semakin hitam begitu juga yang terjadi pada tekstur, konsistensi, dan kadar air semakin hari juga semakin sedikit. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi dan tempat penyimpanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Robert (2008), yang menyatakan bahwa penyimpanan daging pada suhu dingin dapat menyebabkan kerusakan apabila terlalu lama disimpan.
Kondisi pada saat penyimpanan juga sangan berpengaruh, selain dapat menghambat perubahan juga dapat mempertahankan kualitas produk. Yang perli diperhatikan yaitu suhu, kelembaban serta kandungan oksigen. Tetapi lama kelamaan bahan akan mengalami kerusakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadi wiyoto (1997), yang menyatakan bahwa penyimpanan yang baik tidak bisa menjamin kualitas bahan karena adanya sifat alami bahan yang dapat mengalami kerusakan walupun sudah ada proses pengawetan yang bertujuan untuk mencegah proses kerusakan.
Hal ini menandakan bahwa pengemasan plastic berjalan dengan baik dan didukung oleh penyimpanan pada suhu dingin refrigerator. Dan cara pengemasan ini sama dengan pendapat Buckle (2005) yang menyatakan bahwa pengemasan sangat dibutuhkan untuk daya simpan yang cukup lama, cara yang dijelaskan diatas disebut pengemasan dengan pendinginan. Oleh sebab itu menurut Adnan (2002) dengan tahap pendinginan sangat brpengaruh terhadap makanan yaitu : penurunan kimia mikrobiologi dan biokimia yang berhubungan dengan kelayuan, kerusakan dan pembusukan pada suhu dibawah 0oc terjadi penurunan Aw.         Dari pada perlakuan yang kedua daging tersebut dibiarkan dalam keadaan terbuka dan dimasukan kedalam refrigerator akan cepat mengalami perubahan warna daging merah hati menjadi merah kehitam-hitaman baik pada permukaan dan tngah daging tersebut. Pernyataan ini sama dengan pendapat Keaginan (2001), yang menyatakan bahwa kualitas daging pada saat dipotong dan dibiarkan dalam kadaan terbuka maka dalam keadaan waktu yang singkat pula mikroorganisme akan merusaknya, hal ini disebabkan karena kurangnya menjaga kebersihan dan cara penyimpanan daging ini juga sangat mempengaruhi. Sebab perlakuan yang salah akan mngabaikan kebersihan dan membuat daya simpan daging menjadi relative singkat.
b. Pengemasan Produk Ternak (suhu kamar)
Dalam pengemasan produk ternak tentu harus memperhatikan pada syarat pengemasan yang dianjurkan. Dalam penyimpanan pada suhu ruang akan menunjukkan bahan pangan yang efisien mengalami perubahan terhadap teksturnya. Berbeda dengan bahan pangan yang disimpan dalam suhu yang rendah. Aktifitas mikroba perusak akan lebih cepat dan efisien untuk mengubah struktur biologis maupun mekanis daripada bahan pangan tersebut. Davis (2002), yang menyatakan bahwa apabila suhu penyimpanan yang cukup rendah dan perubahan kimiawi selama pembekuan dan penyimpanan beku dapat dipertahankan sampai batas minimum, maka mutu makanan beku dapat dipertahankan untuk jangka waktu yang cukup lama.

Tabel 7. Pengemasan Produk Kernak Suhu Kamar

Pengamatan
Waktu (jam)
Bentuk penyimpanan
Hari ke
1
2
Warna
8
Terbuka
Krem susu
Putih susu
Tertutup
Putih susu
Putih susu
16
Terbuka
Krem susu
Putih susu
Tertutup
Putih susu
Putih susu
24
Terbuka
Krem susu
Putih susu
Tertutup
Krem susu
Krem susu


Bau
8
Terbuka
Busuk
Bau basi
Tertutup
Asam
Bau basi
16
Terbuka
Busuk
Busuk
Tertutup
Bau susu basi
Bau basi
24
Terbuka
Busuk
Busuk
Tertutup
Busuk
Busuk
Tekstur
8
Terbuka
Terpisah antara skim dan padatan
Terpisah antara skim dan padatan
Tertutup
Skim mengental
Banyak skim
16
Terbuka
Terpisah antara skim dan padatan
Terpisah antara skim dan padatan
Tertutup
Banyak skim mengental
Banyak skim kental
24
Terbuka
Terpisah antara skim dan padatan
Terpisah antara skim dan padatan
Tertutup
Lebih mengental
Mengental


Konsistensi
8
Terbuka
Menggumpal
Menggumpal
Tertutup
Menyebar
Menyebar
16
Terbuka
Menggumpal
Menyebar
Tertutup
menggumpal
Kental
24
Terbuka
Menggumpal
Menggumpal
Tertutup
Menyebar
Menyebar

Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa susu pasteurisasi yang diletakan pada suhu kamar memiliki warna putih susu. Dari segi bau susu yang tertutup mudah cepat basi dubandingkan drengan yang terbuka. Susu yang dipasteurisasi akan lebih tahan lama dibandingkan susu yang segar. Hal ini sesuai dengan pendapat Piliang (2005), yang menyatakan bahwa cara mempertahankan klualitas susu  dari serangan mikroba yaitu dengan cara dipanaskan atau pasteurisasi pada suhu 72 derjat celcius selama 15 detik atau 65 derajat celcius selam 30 menit.
Tabel 8. Hasil pengamatan pada suhu rendah (refrigerator)

Pengamatan
Waktu (jam)
Bentuk penyimpanan
Hari ke
1
2
Warna
8
Tebuka
Putih susu
Putih susu
Tertutup
Putih susu
Putih susu
16
Tebuka
Putih susu
Putih susu
Tertutup
Putih susu
Krem susu
24
Terbuka
Krem susu
Krem susu
Tertutup
Krem susu
Krem susu
Bau
8
Tebuka
Bau susu
Bau susu
Tertutup
Sedikit amis
Amis
16
Tebuka
Bau susu
Bau susu
Tertutup
Bau susu
Sedikit amis
24
Terbuka
Bau amis
Amis susu
Tertutup
Bau susu
Amis susu
Tekstur
8
Tebuka
Cair
Cair
Tertutup
Sedikit padat
Cair
16
Tebuka
Cair
Padat
Tertutup
padat
Cair
24
Tebuka
Cair
Padat
Tertutup
Padat
Cair
Konsistensi
8
Terbuka
Ada batas
Lebih banyak
Tertutup
Sedikit
Banyak
16
Terbuka
Sedikit
Banyak
Tertutup
Sedikit
Banyak
24
Terbuka
Sedikit
Banyak
Tertutup
Sedikit
Banyak

Dari hasil pengamatan menggunakan susu yang akan dipasteurisasi dan disimpan didalam keadaan suhu kamar dan suhu rendah (refrigerator) dan diamati selama 2 hari dalam waktu 16-24 jam, dihasilkan pada hari pertama susu yang disimpan pada suhu kamar dan refrigerator yang dalam keadaan terbuka warna putih susu, sedangkan hari kedua pada suhu kamar, susu tersebut berwarna putih kekuningan sedangkan pada suhu rendah warna masih tetap putih susu, dan susu yang dalam keadaan tertutup baik hari 1 maupun hari 2 warna tetap sama yaitu putih susu, sedangkan hari ke2 susu yang dalam keadaan trbuka dan diletakan pada suhu kamar baunya sedikit asam, pada hari ke2 bau tambah asam, sedangkan yang diletakan dalam refrigerator hari pertama bau masih khas susu, dan hari kedua baunya agak asam dan tekstur maupun konsistensi masih dalam keadaan halus dan terjadi penggumpalan dibagian atas, dan keadaan tertutup suhu tersebut menjadi kental. Dan menurut pendapat Lawrance dan Resister (1995) menyatakan bahwa susu akan berubah kental atau menggumpal dan keruh disebabkan karma adanya aktivitas bakteri, sehingga dapat mnyebabkan perubahan warna susu, misalnya menyebabkan susu kental menjadi kuning-kekuningan.
Pengawetan dengan Pembekuan
Pembekuan adalah penyimpanan bahan pangan dalam keadaan beku yaitu pada suhu 12 sampai -24 0 C. Pembekuan cepat (quick freezing) di lakukan pada suhu -24 sampai -40 0 C. Pendinginan biasanya dapat mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari atau minggu tergantung pada macam bahan panganya, sedangkan pembekuan dapat mengawetkan bahan pangan untuk beberapa bulan atau kadang beberapa tahun. Perbedaan lain antara pendinginan dan pembekuan adalah dalam hal pengaruhnya terhadap keaktifan mikroorganisme di dalam bahan pangan. Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan pangan tidak dapat membunuh bakteri, sehingga jika bahan pangan beku misalnya di keluarkan dari penyimpanan dan di biarkan mencair kembali (thawing), pertumbuhan bakteri pembusuk kemudian berjalan cepat kembali. Pendinginan dan pembekuan masing-masing juga berbeda pengaruhnya terhadap rasa, tekstur, nilai gizi, dan sifat-sifat lainya. Beberapa bahan pangan menjadi rusak pada suhu penyimpangan yang terlalu rendah.

Tabel 9. Hasil Perhitungan Dripp dari Karkas Yang Diamati

Irisan/bagian Karkas Ayam
Temperatur Thawing
Bobot Irisan Karkas (gr)
% Dripp
Awal
Akhir
Sayap
Kiri
Suhu Kamar
75,98
74,552
1,88
Kanan
Refrigerator
77,327
76,98
0,44
Punggung
Kiri
Suhu Kamar
241,43
240,972
0,189
Kanan
Refrigerator
176,42
175,32
0,623
Dada
Kiri
Suhu Kamar
132,88
131,422
1,097
Kanan
Refrigerator
69,73
68,989
1,06
Paha Atas
Kiri
Suhu Kamar
124,440
123,51
0,747
Kanan
Refrigerator
80,24
79,33
0,0011
Paha Bawah
Kiri
Suhu Kamar
90,917
89,978
1,032
Kanan
Refrigerator
79,38
78,65
0,919

Dari praktikum diatas dapat diketahui bahwa semua karkas yang sudah dipotong dan dibungkus dalam plastic dan dimasukan kedalam frezer slama 48 jam, kemudian semua bagian karkas ayam di thawing, dalam penthawingan diberi 2 perlakuan, perlakuan irisan karkas ayam sebelah kiri di thawing pada suhu kamar, sedangkan perlakuan 2 bagian karkas ayam sebelah kanan di thawing pada refrigerator, kemudian ditunggu selama 2 jam thawing pada suhu kamar sampai irisan lunak. Dan setelah melakukan penimbangan dapat dilihat bahwa irisan karkas yang di thawing mengalami penurunan bobot. Hal ini disebabkan karena kristal es yang keluar dari irisan karkas (daging), sehingga menimbulkan perubahan baik fisik maupun kimiawi pada sel-sel daging tidak semua air ataupun kristal es yang mencair dapat diikat dan diserap kembali oleh sel-sel jaringan produk, dan hal ini ssuai dengan pendapat Adinan (2005) yang menyatakan bahwa pada suhu dibawah 0oc air akan membeku dan terpisah dari larutan dan membentuk es, yang mirip dengan air yang diuapkan pada proses pengeringan atau selama penurunan Aw.
Dan menurut Haris dan kemas (2001) menyatakan bahwa pada saat produk dicairkan kembali tidak semua air dari kristal akan diserap kembali oleh bahan pangan yang diawetkan maka air yang diserap akan keluar.

Pengawetan dengan Pengeringan
Adapun hasil yang diperoleh pada praktikum pengawetan dengan pengeringan adalah bahwa proses penurunan kadar air oleh terhentinya aktifitas mikroba (Aw) adalah bahan pangan, seperti: dendeng akan lebih awet dengan suhu 60 oc selama 36 jam dibandingkan dengan suhu 40 oc selama 72 jam. Hal itu disebabkan oleh mikroba dengan pemanasan pada suhu besar akan lebih cepat terdegradasi dan kadar kerusakan lebih minimum. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Hadiwiyoto (2003), yang menyatakan bahwa penyimpanan bahan makanan yang cukup lama selama suhu 60 oc dan 40 oc akan menyebabkan daging dehidrasi dalam pengeringan, daging merupakan bahan pangan yang sangat mudah rusak, karena daging memiliki senyawa biologis yang masih aktif.
Berikut ini adalah tabel hasil pengamatan pada pengawetan dengan pengeringan (pembuat dendeng) yaitu:
Perlakuan Pengeringan
Kode Sampel
Berat (gram)
Kadar Air %
W
W1
W2
Suhu 60oc selama 36 jam
D1
50,770
52,775
52,4
23,43
D2
50,191
52,201
51,92
16,16
Rataan : 19,79 %
Suhu 40oc selama 72 jam
D3
50
52,12
51,87
13,36
D4
50,1
52,1
51,89
11,73
Rataan: 12,545 %

Dari praktikum yang dilaksanakan tentang pengawetan dengan pengeringan, dengan 2 perlakuan yaitu memasuki dndeng kedalam oven dengan pengeringan selama 36 jam  dengan suhu 60oc dan kedua, dendeng dimasukan kedalam oven selama 72 jam dngan suhu 40oc. Dan Saraswati (2004) menyatakan bahwa ada beberapa contoh pengawetan daging, dan 2 cara ini merupakan pengawetan dengan penggunaan suhu tinggi.
            Banyak factor yang mempengarihi proses pengawetan dengan pengeringan yang menggunakan daging tersebut yaitu suhu dan kontaminasi. Dan menurut Mazarnis (2002) menyatakan bahwa factor utama yang mempengaruhi proses pengeringan adalah secara fisik dan kimiawi, pengaturan geometri produk sifat dari lingkungan alat pngeringan dan suhu pengeringan, sehingga pendapat dari Moctadi (2001) yang menyatakan bahwa nilai gizi protein yang tinggi pada daging dapat dipertahankan tanpa menimbulkan pengaruh atas keasaman untuk dikonsumsi.
            Supaya daging tersebut tidak membahayakan manusia dalam mengkonsumsi perlu diperhatikan mikroorganisme yang terdapat dalam daging tersebut apabila mikroorganisme yang menekan. Menurut Frazieri (2001) sependapat dengan hal ini karena dia menyatakan bahwa mikroorganisme yang terdapat dalam daging tersebut, apalagi mikroorganisme yang merugikan, dan khamir, jamur serta bakteri yang dapat merugikan dapat membahayakan manusia yang mengkonsumsinya.
            Elvina (2002) menyatakan bahwa dendng sapi dapat tahan lam maka harus disimpan dalam kondisi rapat-rapat dan tidak lemah. Dengan hasil yang didapat dalam penentuan kadar air bahwa dendeng yang dikeringkan dalam oven selama 72 jam dngan suhu 40oc lebih tinggi dari pada dendeng yang dikeringkan dalam oven selama 36 jam dengan suhu 60oc. hal ini sama dengan pendapat Winarno (2000) yang menyatakan bahwa kadar air berkisar 60-70% dan apabila daging tidak mempunyai kadar air terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah yaitu kisarannya 15-50% maka daging tersebut dapat tahan lama selama penyimpanan. Dan menurut Saputan (2000) dengan hasil yang sudah didapat kemarin, bahwa kadar air pada dendeng sapi yang digiling lebih tinggi dari dendeng sapi yang diiris, hal ini karena perlakuan fisik dalam pembuatan daging giling menyebabkan air lepas sekaligus dari proses kering penyerapan bahan kering lebih tinggi disbanding daging iris.
Penenentuan Kadar Air Dengan Infrared Digital Moisture Balance
Prinsip penentuan kadar air yaitu mengukur kadar air dengan menguapkan air yang ada dalam bahan pangan dengan pemanasan (lampu infra merah). Kadar air bahan pangan langsung ditunjukan dalam persen pada skala penunjuk kadar air.
Sebelum dilakukan pemanasan daging sapi terlebih dahulu di sayat tipis dengan ukuran kira – kira 2 cm. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Buckle (2004), yang menyatakan bahwa untuk mempengaruhi tingkat kadar air yang perlu untuk mempunyai rasio permukaan volume yang tinggi dalam daging oleh karena itu digunakan daging yang sudah dipotong-potong halus.
Dari praktikum yang telah dilaksanakan didapatkan hasil sebagai berikut kadar air 49,9 % dengan waktu pemanasan 15 menit dan suhu 105oC.
Hadiwiyato,S (2003), yang menyatakan bahwa penentuan kadar air bahan pangan akan efisien dan praktis dengan menggunakan media infra merah dengan kualitas tentu yang cukup efisien.
Gambar . Daging yang dipanaskan dengan Infraren Digital Moisture Balance
Air yang diikat dalam daging dapt dibagi dalam 3 komponen yaitu air yang terikat secara kimiawi olwh protein daging sebesar 4-5 % yang ,merupakan lapisan monomolekuler peartama. Lapisan kedua adalah air yang terikat agak laemah ini molekul air terhadap kelompok hidrofilik yakni sebesar 4 %. Lapisan ketiga merupakan air bebas yang terdapat diantara komponen molekul-molekul protein yanag memiliki jumlah terbanyak. Air bebas terletak dibagian luar sehingga mudah lepas, sedangkan air terikat adalah kebalikan nya dimanan air sulit dilepaskan karena kuat pada rantai protein, dan air dalam bentuk tidak tetap merupakan air labil sehingga mudah lepas bila terjadi perubahan ini sesuai dengan pendap (Purnomo, 2004), yang menyatakan bahwa air bebas dengan mudah hilang bila terjadi pengeringan dan penguapan, sedangkan air terikat sulit dibebaskan denga cara tersebut.
Winarno, (2003), yang menyatakan bahwa daging memiliki komposisi yang terdiri dari 75 5 air, 18 % protein, 4 % protein yang dapat larut (termasuk mineral) dan 3 5 lemak. Diperoleh hasil kadar air pada percobaan ini adalah tetap normal.






PENUTUP
Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum Dasar Tekhnologi Hasil Ternak adalah dengan adanya melakukan pengawaetan dan pengolahan hasil dari ternaka kita bisa merubah bentuk suatu makan hasil ternak baik secara fisik maupaun secara biologis dan merubah rasa dari pengolahan yang dilakukan. Sehingga bisa mengemas dan menjadiakan bahan makanan menjadi awet untuk simpan dengan mengadakan pengolahan. Bahan pangan merupakan materi yang mudah rusak.  Dengan sifat yang mudah rusak, maka bahan pangan mempunyai masa simpan yang terbatas. 
Bermacam-macam teknik pengawetan dan pengolahan bahan pangan dilakukan untuk memperpanjang komoditas hasil pertanian di antaranya pengeringan, pembekuan, penggunaan bahan kimia dan iradiasi. Tujuan pengawetan pangan adalah untuk menghambat atau mencegah terjadinya kerusakan pangan, mempertahankan kualitas bahan, menghindarkan terjadinya keracunan dan mempermudah penanganan serta penyimpanan.  Bahan pangan yang awet mempunyai nilai yang lebih tinggi karena terjadinya kerusakan dapat diperkecil.  Namun demikian metode pengawetan tidak selalu dapat mempertahankan kualitas asal bahan pangan atau kandungan gizi dari komoditas yang diawetkan.

Saran
Sebaiknya bahan-bahan yang dibutuhkan dalam praktikum dapat disediakan, sehingga apabila melakukan percobaan tidak ada kendala dalam melaksanakan praktikum dan alat yang dibutuhakan agar lebih lengkap lagi untuk kelancaran praktikum ini, dan juga untuk praktikum selanjutnya lebih diperhatikan.


DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2007. Freezer Dryer. http://www.Ilshine Urope . com/ products/freezer dryer.html.
Anonymous.2006. Hasil-hasil Olahan Dari Ternak. Penerbit Agritech, Yogyakarta.
Antonius Riyanto.2001. Kandungan Energi Dalam Telur. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Bambang, S .2007. Pengawetan Bahan Pangan Hasil Ternak. PT Mutiara Sumber Widya Penabur Benih Kecerdasan.
Buckle.2005. Penambahan Garam Mempengaruhi Aktivitas Air Dalam Pangan. Penerbit. GITA. PT Gallus Indonesia Utama.
Desrosier M.W.2007. Technology, Elements Of Technology. The Avi Publishing Company. Inc Westport Connecticut.
Frazier W and DC Westhoff.1976. Food Microbiology. Third Edition MC Graw Hill Book Co, New York.
Gaman, MP. 1992. Ilmu Pangan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Hamid, A.2008. Pit dan Pembususkan Daging. Fesis Fkit. IPB, Bogor.
Handiwiyoto, Soeswodo.2003. Hasil-hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur. Liberty ,Yogyakarta.
Hadiwiyoto, S. 1983. Hasil-hasil Olahan. Liberty. Yogyakarta
Haryoto.2002. Evaluasi Kerusakan-kerusakan Pada Telur Unggas. Penerbit Liberty ,Yogyakarta.
Lawrie .2007. Berbagi Tehnik Dalam Proses Pengeringan Bahan Pangan. Penerbit PT Gremedia Jakarta.
Lawrie, AR. 1995. Ilmu Daging. Universitas Indonesia. Jakarta
Marhijanto.2006. Kamus Poultry dan Pengawetannya. Penerbit ITB, Bandung.
Murtidjo, BA. 2007. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Kanisius. Jakarta
Muctadi, P.2005. Studies On, and Indonesia Traditional Product. Nutrien and Effect by Biology. Forum Pascasarjana 2(10) : 1-10. Fakultas Peternakan Unibraw, Malang.
Murtidjo .2006. Tehnik Dalam Penambahan Garam Dalam Proses Pengawetan. Penerbit. Universitas Indonesia Press.
Petrucci. 1993. Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern. Erlangga. Jakarta
Pilliang, GW. 1995. Pengelolaan Hasil Ternak. IPB. Bandung
Purnomo. 1999. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia. Jakarta
Rasyaf Muh.2003. Egg Quality Current Problems and Evaluation Of Egg Quality. Penerbit Fakultas Peternakan Unibraw, Malang.
Rammanof. 2003. Mendeteksi Ketahahan Kualitas Telur saat Pengawetan. Penerbit Fakultas Peternakan Brawijaya, Malang.
Repandi. 2003. Pengolahan Hasil Ternak. Agromedia Pustaka. Jakarta
Robert.2009. Evaluasi Gizi dan Kerusakan Bahan Pangan. Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Soeparno.2004. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University ,Yogyakarta.
Syarif. 2005. Teknologi Penyimpanan Daging. 18 Mei 2009
Wianrno.2004. Pencegahan Kerusakan Bahan Pangan. Pustaka Media, Yoyakarta.
Winarno F,G.2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia : Jakarta. Pangan Gizi Teknologi dan Konsumen. PT Gramedia : Jakarta.
Wianrno F,G. S Fardias dan D Fardias.2004. Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia : Jakarta.

Yuanita, T. 2001. Penyimpanan Pengolahan dan Pengawetan Produk Ternak.




LAMPIRAN
Pengawetan dengan penggaraman
Penyusutan telur pada penggaraman basah
1.      Penyusutan      = Bobot awal – bobot akhir
= 67,238 – 66,6
= 0,638
2.      Penyusutan      = Bobot awal – bobot akhir
= 61,273 – 60,2
= 1,073
3.      Penyusutan      = Bobot awal – bobot akhir
= 64,598 – 63,1
= 1,498
Berat Jenis Pada Penggaraman Basah
1.      Berat Jenis
2.      Berat Jenis
3.      Berat Jenis

Penyusutan telur pada penggaraman Kering
1.      Penyusutan      = Bobot awal – bobot akhir
= 58,344 – 57,89
= 0,541
2.      Penyusutan      = Bobot awal – bobot akhir
= 58,344 – 57,89
= 0,454
3.      Penyusutan      = Bobot awal – bobot akhir
= 76,050 – 75,10
= 0,95


Berat Jenis Pada Penggaraman Kering
1.      Berat Jenis      
2.      Berat Jenis      
3.      Berat Jenis      

Perhitungan Persentase Dripp (%) Pada Pengawetan dengan Pembekuan

% dripp =  Bobot sebelum dibekukan – Bobot setelah di thawing  x 100 %
                            Bobot sebelum dibekukan

%drip pada sayap
Kiri%
Kanan

%drip punggung
Kiri%
Kanan

%drip dada
Kiri%
Kanan

%drip paha atas
Kiri%
Kanan

%drip paha bawah
Kiri%
Kanan


Pengawetan Dengan Pengeringan
Kadar air Bahan  =  100 (W1 – W2)
                                    (W2 – W )

D1%
D2
D1%
D2